23 Oktober 2024
WhatsApp Image 2023-07-25 at 11.49.08

Muslim Uighur ( foto ist )

Penulis: OVAMIR ANJUM
Editor: Reza Nasrullah
arahbanua.com, Banjarbaru-

Tatanan Madinah jelas mewakili “negara” seperti itu pada saat Nabi saw. wafat, yang kemudian dikonsolidasikan pada akhir pemerintahan Abu Bakar. Pun begitu, dalam rangka menangkap esensi pramodern dari bentuk otoritas politik Islam, penggunaan istilah “negara” ini terlalu longgar maknanya, sehingga, mengikuti Hallaq, ketimbang menggunakan istilah “negara” lebih baik kita menggunakan istilah “pemerintah” atau, lebih baik lagi, “pemerintahan”.
Tegasnya, negara modern adalah lembaga abstrak dan impersonal yang terpisah dari individu atau dinasti tertentu yang berkuasa. Sebagai hasil pengembangan oleh peradaban Eropa abad ke-17, konsep negara adalah spesies kekuasaan baru yang asing bagi teologi atau yurisprudensi Islam.

Filsuf politik dan sejarawan telah lama menggagas bahwa, sebagai sebuah lembaga, negara mengambil alih kekuasaan Tuhan dalam ajaran Kekristenan tradisional. Mengutip Carl Schmitt dalam esainya “Political Theology,” mungkin kata-kata yang paling banyak dikutip dalam teori politik modern:
Semua konsep penting dari teori negara modern adalah konsep teologis sekuler, bukan hanya karena perkembangan historisnya—yang di dalamnya konsep-konsep ini ditransfer dari teologi [Kristen] ke teori tentang negara, di mana, misalnya, Tuhan yang Mahakuasa menjadi pembuat hukum yang mahakuasa—tetapi juga karena struktur sistematis konsep-konsep ini, dan pengakuan yang diperlukan untuk pertimbangan sosiologis dari konsep-konsep ini.

84. Hal yang perlu dicatat dalam pengamatan ini adalah asal-usul teologis dan pretensi konsep-konsep politik itu mendefinisikan negara modern: kedaulatan (otoritas seperti Tuhan yang tak tersangkal untuk membuat undang-undang dan pengecualiannya), wilayah (wilayah di mana kedaulatan negara itu mutlak), komunitas nasional (orang-orang yang percaya kepada kebesaran dan mitos masa lalu negara itu), dan kewarganegaraan (hak individu atas dasar hubungannya dengan negara, tidak dimiliki nonwarga negara)

85. Tetapi, saya pikir, wawasan lebih dalam adalah struktur negara itu secara ideologis sekuler; bukan ruang kosong untuk diisi ideologi apa pun. Inilah yang disinggung Wael Hallaq dalam kutipan berikut:
Wacana Islamis modern menganggap negara modern sebagai alat pemerintahan yang netral, yang dapat dimanfaatkan untuk menjalankan fungsi tertentu sesuai pilihan dan perintah para pemimpinnya. [Ia bisa diubah menjadi] … sebuah negara Islam yang menerapkan nilai-nilai dan cita-cita Al-Qur’an yang pernah diwujudkan Nabi dalam “negara mini”-nya di Madinah. … [Ini tidak benar.] Ia secara inheren (penekanan pada tulisan aslinya) menghasilkan suatu efek khas yang bersifat politis, sosial, ekonomi, budaya, epistemik, dan, tidak kurang, psikologis, yang mengatakan bahwa negara membentuk sistem pengetahuan tertentu yang pada gilirannya menentukan dan membentuk lanskap subjektivitas individu dan kolektif dan dengan demikian banyak aspek kehidupan subjeknya.

86.Salah satu alasan kekuatan ideologis negara adalah perannya sebagai pembuat, penilai, dan pelaksana hukum. Kekuatan besar dan total ini beralih ke entitas abstrak yang seolah-olah tidak material, tetapi, pada kenyataannya, selalu digunakan sekelompok orang. Lalu, otoritas negara modern ini ditetapkan (tentu saja, selalu selektif) oleh kekuasaan global atas nama kesepakatan internasional, yaitu sistem negara-bangsa. Ketika kekuasaan ini didapati terlalu absolut, gagasan keseimbangan dan pemisahan kekuasaan secara kelembagaan dalam bentuk konstitusi dan proses demokrasi lahir. Namun, semua proses ini berada di dalam negara. Dalam demokrasi yang tidak sempurna (adakah yang sempurna?), totalitas kekuasaan ini menjadi lebih jelas, dan pemisahan kekuasaan seringkali kurang efektif. Tetapi, seperti dikemukakan banyak sejarawan hukum, hipotesis pemisahan kekuasaan ini tidak berlaku dalam kenyataannya, sekalipun itu di negara-bangsa yang paling berkembang secara kelembagaan seperti Amerika Serikat.

87. Sebagai kesatuan pihak, seperti pada saat-saat krisis, perang, dan kemenangan asli atau palsu—dengan potensi berkelanjutan atau bahkan konstan—negara bertindak sebagai kekuatan absolut, “tuhan fana,” sebagai Leviathan, makhluk mitos dengan kekuatan tak terbatas sebagaimana dibayangkan filsuf Inggris Thomas Hobbes.
Masalah utama dari perspektif teologi Islam bukanlah para penguasa sebagai individu dapat berkhianat atau berperang, memberlakukan kebijakan diskriminatif, dan eksekusi sewenang-wenang, hal-hal yang dapat dipahami sebagai realitas tak terhindarkan dalam kehidupan politik. Otoritas agama selalu merasa bebas menggunakan norma-norma Islam untuk mengkritik dan mengecam para penguasa, bahkan terkadang membenarkan pemberontakan bersenjata. Lebih tepatnya, “kemustahilan” negara modern dalam kerangka Islam, seperti pendapat Hallaq dan cendekia lain, adalah bahwa negara—secara definisi maupun struktural—merupakan yang tertinggi. Pendapat dan lembaga agama disahkan negara, bukan sebaliknya. Bahkan jika elite negara modern itu “Muslim” atau “Islami,” menurut mereka, secara struktural negara itu tidak bisa menjadi negara Islam; melainkan ia adalah negara sekuler dan mensekularisasi.

Namun, status sekuler tidak pernah menghentikan elite negara mana pun, termasuk di Eropa dan Amerika, dari mengeksploitasi agama demi tujuan mereka. Oleh karena itu, gagasan negara Islam adalah oksimoron, dan pengalaman negara-negara aktual yang mengaku Islami selama beberapa dekade terakhir sudah mengamini hal ini.
Ketidaksesuaian lain, yang bahkan lebih konkrit, dengan tuntutan kedaulatan teritorial negara modern adalah bahwa Islam tidak membolehkan pembedaan hak dan kewajiban umat Islam berdasarkan afiliasi regional atau teritorial. Banyaknya perintah Al-Qur’an tentang solidaritas dan saling mendukung antar sesama Muslim tidak memungkinkan pemisahan umat Islam di satu wilayah dari kebutuhan, hak, kekayaan, dan penderitaan umat Islam lain, kecuali atas dasar sementara dan pragmatis. Oleh karenanya, melawan penindasan terhadap Muslim Rohingya, Uyghur, maupun Muslim di Palestina dan Kashmir, merupakan perintah Al-Qur’an langsung kepada semua Muslim, yang pelaksanaannya hanya tunduk kepada pertimbangan jarak dan kelayakan. Struktur politik yang membatasi kesetiaan individu pada batas-batas teritorial negara adalah hal yang secara fundamental bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan, yang lebih bermasalah bagi tuntutan negara teritorial adalah kesetiaan warganya kepada otoritas agama yang berasal dari luar perbatasannya. Jaringan cendekiawan, intelektual, dan sufi yang tersebar luas dan telah memberi corak kepada wilayah Islam di masa lalu terus menjadi tantangan bagi tuntutan negara-bangsa. Tentu saja, independensi kota atau sebuah wilayah yang terbatas dalam bentuk pemerintah teritorial atau regional memang mungkin (dan diinginkan), tetapi kedaulatan yang dituntut negara-bangsa jauh melampaui ini. Jadi, penting untuk membedakan negara (suatu entitas yang abstrak dan berdaulat) dari pemerintah (suatu istilah bagi aparatur administrasi dan hukum di suatu daerah). Oleh karena itu, imajinasi tentang khilafah masa depan tidak boleh dibatasi oleh pemikiran bahwa pemerintah, lembaga, komunitas, dan sejarah lokal harus dihancurkan untuk menciptakan negara supraregional.
Banyak kritik lain terhadap negara-bangsa, yang memang telah diutarakan. Tetapi tujuan kita bukanlah mengkritik secara komprehensif, melainkan menyajikan sejumlah alasan mengapa rekam-jejak negara-bangsa sangat bermasalah di wilayah Islam, dan mengapa akhir dari negara-bangsa dapat menawarkan peluang sejarah bagi pemulihan bentuk eksistensi politik yang lebih Islami dan manusiawi bagi umat Islam.

 

 

 

Loading

redaksi