23 Oktober 2024
WhatsApp Image 2023-07-24 at 23.30.32

Muslim Rohingya ( foto ist )

Penulis: OVAMIR ANJUM
Editor: Reza Nasrullah
arahbanua.com, Banjarbaru-

Masalah-masalah ini bukanlah kebetulan, melainkan merupakan hal yang esensial bagi negara mana pun yang harus bersaing dengan agama populer yang tidak dapat dikendalikannya. Selain itu, Islam secara konseptual unik dalam kemampuannya menantang modernitas, tidak hanya secara teologis, melainkan juga secara politis, melalui gagasannya yang kuat tentang rasa memiliki, solidaritas, supremasi hukum, dan toleransi terhadap pluralitas. Aspek eksepsionalisme Islam ini telah diakui baik oleh para cendekia yang mempelajari tradisi maupun yang menyelidiki pengalaman hidup umat Islam.

80. Tidak ada negara-bangsa yang tidak menuntut kesetiaan yang nyaris total serta pengenyampingan kepentingan dan pengaruh luar. Negara-bangsa membuat dan menerapkan hukum serta keputusan hidup dan mati, mewajibkan rakyatnya berperang demi kepentingannya. Dalam demokrasi liberal dengan peradilan yang tidak memihak, tuntutan ini diasumsikan tidak sewenang-wenang dan kekuasaan negara dibatasi, tetapi dalam kenyataannya hal itu jarang terjadi. Demokrasi liberal telah terbukti tidak berdaya di hadapan kapitalisme predator dan tidak sesuai dengan komitmen agama, etika komunitas, dan keberlanjutan ekologis. Lantaran tidak memiliki cita-cita moral kolektif dan transenden, warga dalam negara modern dimanipulasi perusahaan besar multinasional atau demagog etno-nasionalis, atau keduanya. Negara modern secara efektif berfungsi sebagai wasit mutlak atas hukum, etika, dan kehidupan warganya.
Tepatnya, negara-bangsa modern adalah lembaga yang asing bagi Islam dalam segala bentuknya. Keasingan ini telah ramai diketahui oleh para cendekia pengkaji tradisi dan sejarah Islam, dan baru-baru ini dibuktikan oleh Wael Hallaq melalui bukunya yang berjudul The Impossible State. Dia berpendapat bahwa negara-bangsa modern adalah lembaga yang amoral, bahkan tidak bermoral, dan konsep yang tidak cocok bagi Islam. Namun, kasus yang disoroti dalam bukunya itu didasarkan pada gagasan “negara” tertentu, yang menyebabkan banyak kebingungan di kalangan nonspesialis. Oleh karena itu, diperlukanlah pengklarifikasian.

Apakah dan kapan istilah “negara” dapat digunakan untuk menggambarkan bentuk pemerintahan Islam awal tergantung pada cara menjawab pertanyaan pelik tentang definisi negara. Negara modern telah menaklukkan dunia dan imajinasi kontemporer di mana-mana sehingga mengancam semua pemahaman sejarah sekaligus alternatif yang otentik secara historis.

Sejarawan intelektual Eropa umumnya setuju bahwa konsep negara muncul di Eropa antara 1300 dan 1600 sebagai akibat daripada sejumlah perkembangan tertentu.

81.Yang membedakannya dari bentuk pemerintahan sebelumnya adalah pertemuan sejumlah konsepsi yang mengkonstruksi negara sebagai “kekuasaan yang mahakuasa namun impersonal”:

(a) negara sebagai tatanan hukum dan konstitusional terpisah yang memerintah, diabstraksikan dan dibedakan dari raja atau pejabat yang berkuasa, (b) negara sebagai satu-satunya sumber hukum, mengecualikan Tuhan, Gereja, atau Kekaisaran Romawi Suci, di dalam wilayahnya sendiri, dan
(c) negara sebagai satu-satunya objek kesetiaan warganya.

82Jadi, sekularitas, teritorialitas, abstraksi (yaitu, impersonalitas), dan kedaulatan adalah bahan baku dasar negara modern. Definisi maksimalis tentang negara yang digunakan sejarawan ini harus dikontraskan dengan definisi minimalis yang lebih banyak digunakan, seperti yang ditawarkan oleh Charles Tilly yang melihat negara sebagai “organisasi pemaksa yang berbeda dari rumah tangga dan kelompok kekerabatan, serta menjalankan prioritas yang jelas di atas semua organisasi lain dalam wilayah yang substansial.”

 

 

 

Loading

redaksi