29 November 2024
WhatsApp Image 2023-07-24 at 17.01.31

Nazih Ayubi ( foto: ist )

Penulis: OVAMIR ANJUM
Editor: Reza Nasrullah
arahbanua.com, Banjarbaru-

Pemberontakan Arab (1916–1918) memulai satu abad (dan entah sampai berapa lama lagi) era ketidakabsahan dan ketidakstabilan politik di Timur Tengah Arab. Saat ini, kawasan ini semakin bergejolak. Seorang sejarawan kontemporer menghubungkan kejatuhan Khilafah Utsmaniyah dengan kondisi Timur Tengah kontemporer,
Saya pikir semua orang itu rasional ketika [mereka] pesimis akan prospek daerah ini. Tak satu pun masalah yang memiliki solusi jangka pendek.

76. Demikian pula, dalam karyanya berjudul A Peace to End All Peace (1989), sejarawan David Fromkin merefleksikan warisan berkelanjutan dari pembagian wilayah Eropa:
Perlawanan lokal yang terus berlanjut, baik atas dasar agama atau lainnya, terhadap penyelesaian tahun 1922 atau asumsi yang mendasarinya, menjelaskan ciri khas politik kawasan ini: bahwa di Timur Tengah tidak ada rasa legitimasi—tidak ada kesepakatan tentang aturan main—dan tidak ada keyakinan universal bahwa dalam perbatasan mana pun, entitas yang menyebut diri sebagai negara atau orang-orang yang mengaku sebagai penguasa berhak diakui seperti itu. Dalam hal ini, para penerus sultan-sultan Utsmani belum diangkat secara permanen.

77. Kini, masa depan negara-bangsa Muslim menjadi kurang pasti dibanding satu abad yang lalu. Setidaknya satu alasan bagi ketidakmungkinan—dan, dalam kata-kata seorang cendekia, kemustahilan—negara-bangsa adalah persoalan ideologis: Islam.

78. Artinya, mengingat kuatnya akar Islam, upaya alternatif membangun legitimasi melalui narasi sekuler—apakah itu nasionalis, regional, kiri-internasionalis, atau lainnya—telah gagal. Seperti dijelaskan cendekia Arab Nazih Ayubi dalam studi berpengaruhnya, Overstating the Arab State (1996), negara-negara Arab pascakolonial abad ke-20 tidaklah kuat, melainkan garang—artinya, mereka lemah, tidak sah, dus garang.

79. Karena negara-negara itu tidak mengantongi kesetiaan rakyat (hanya mendapatkan kesetian elite yang diuntungkan oleh kehadirannya), mereka hanya dapat berkuasa melalui kekerasan, yang sering dikombinasikan dengan dan disahkan melalui faktor-faktor asing seperti ancaman dan permusuhan regional (misalnya, Israel, Zionis, tentara Salib, Syi’ah, Sunni, dll.) dan eksploitasi perpecahan agama dan etnik. Ketika para elite menyadari kegagalan program sekuler mereka—terutama seiring kegagalan nasionalisme Arab yang dipimpin Nasser dan penghinaan terhadap tentara Arab oleh Israel pada 1967—mereka berharap mengeksploitasi Islam secara lebih efektif. Hasilnya tidak mengesankan karena beberapa alasan.
Pertama, meskipun para penguasa dapat mengendalikan sejumlah ulama dan lembaga keagamaan, Islam Sunni tidak pernah menerima hierarki ulama, dan upaya semacam ini selalu melahirkan atau memperkuat klaim otoritas agama alternatif. Contohnya, upaya Mesir menguasai Universitas al-Azhar. Sebagai agama yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an, penyebaran literasi dalam Islam hanya mendorong pesan antiotoriter, jika bukan antihierarki, kepada minda dan sanubari orang beriman. Semangat Islam yang dahulu pernah menggagalkan ambisi absolut Umayyah (dalam bentuk pemberontakan) dan ambisi para khalifah Abbasiyah (dalam bentuk perlawanan heroik Imam Ahmad bin Hanbal), menolak dimanipulasi otokrat militer dan raja hari ini. Faktor ideologis lain, dan mungkin yang paling penting, yang menghalangi perekrutan Islam dalam proyek pembangunan negara-bangsa adalah globalitas umat Islam dan teritorialitas negara modern pada dasarnya.
Ketidakabsahan negara di wilayah-wilayah mayoritas Muslim berkonsekuensi buruk. Terorisme menjadi konsekuensi langsung dan tak terhindarkan. Negara-negara yang tidak aman, lemah, dan garang ini mau tidak mau memerintah melalui represi serta menyulap otoritas agama dan budaya menjadi tentara bayaran untuk melawan masyarakat mereka sendiri. Mempersenjatai globalisme, para otokrat menyewa “ulama” bayaran global melawan ulama yang memiliki basis sosial. Kelompok tertindas terpaksa berpaling kepada komunitas internasional, yang jarang membantu kecuali jika memiliki kepentingan tersendiri. Di satu sisi, negara makin tidak absah dan, di sisi lain, calon reformis mana pun (yang dapat dicap para otokrat sebagai agen asing) makin tidak dipercayai.

 

 

 

Loading

redaksi