6 November 2024
WhatsApp Image 2024-01-18 at 18.19.15_b8aa8e0e

ARAHBANUA.com

Oleh: Abdullah Hehamahua

 

Jakarta  |

KPK, tanggal 17 Januari malam, mengundang capres dan cawapres 2024, hadir di Gedung Merah Putih. Disebut Gedung Merah Putih karena tugas utama KPK adalah memberantas korupsi agar negara mencapai tujuan kemerdekaan, terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengapa harus merah putih. Sebab, para pejuang dahulu, harus berani melawan penjajah yang dilambangkan dengan warna merah. Maknanya, KPK harus berani menangani korupsi kelas kakap, khususnya yang melibatkan istana, pejabat tinggi negara, dan oligarki tanpa takut diintervensi siapa pun.

Warna putih menggambarkan kesucian hati. Keikhlasan para pejuang mengusir penjajah, tanpa mengharapkan jabatan apa yang diperoleh nanti. Itu sebabnya, Kode Etik KPK sangat “ekstrim” bagi budaya Indonesia dewasa ini. Kode Etik Pimpinan KPK jilid 1, pimpinan tidak boleh bermain golf. Sebab, di tempat ini, sering terjadi lobi-lobi di antara pejabat dan pengusaha. Jadi, Firli bermain bandminton di tempat umum, sudah melanggar Kode Etik KPK.

Warna putih KPK sangat diinspirasi para pejuang dan pejabat pada awal-awal kemerdekaan sebelum periode orde lama. Bung Hatta, misalnya, sampai meninggal dunia tidak berhasil membeli sepatu idamannya karena tidak mau menggunakan anggaran negara untuk kepentingan pribadi. Beliau juga mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden ketika merasa tidak sejalan lagi dengan Soekarno. Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandat sebagai Presiden setelah Soekarno dan Hatta dibebaskan Belanda dari tahanan. Mohammad Natsir, Perdana Menteri pertama NKRI, mengembalikan mandat setelah merasa tidak sejalan dengan Soekarno. PM Burhanuddin Harahap mengembalikan mandat setelah sukses melaksanakan Pemilu 1955. Itulah ciri putihnya jiwa para pemimpin terdahulu.

Kondisi di atas bertolak belakang dengan keadaan sekarang. Jokowi, bahkan berakrobat agar bisa menjabat tiga periode. Minimal menunda Pemilu. Perilaku tersebut, bak gayung bersambut dengan ambisi pimpinan KPK sekarang. Komisioner KPK mengajukan gugatan ke MK agar masa jabatan mereka diubah menjadi lima tahun. Jujur, pimpinan dan penasihat KPK sejak periode pertama sampai keempat, tidak berniat sama sekali untuk mengubah masa jabatan menjadi lima tahun. Sebab, disadari, korupsi adalah kejahatan luar biasa sehingga segala sesuatunya juga luar biasa, termasuk masa jabatan.

Lazimnya, masa jabatan seseorang atau lembaga, diubah atau diperpanjang, dikaitkan dengan prestasi luar biasa yang dicapai. Lalu, apa prestasi yang dicapai KPK pimpinan Firli Bahuri? Pertama, Harun Masiku, bukan siapa-siapa, lebih tiga tahun, belum juga ditangkap. Bandingkan dengan Nazarudin, anggota DPR dan Bendahara Umum partai berkuasa waktu itu, hanya kurang lebih empat bulan, ditangkap di Kolombia. Prestasi kedua Firli, IPK Indonesia terjun payung. Hanya mencapai skor 32, di bawah Timor Leste yang mendapat angka 34. Prestasi ketiga Firli, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPK berada di rangking kelima, sesuatu yang sangat memalukan. Sebab, sejak jilid 1, KPK selalu berada di urutan pertama yang terbaik, baik berdasarkan penilaian Menpan maupun tingkat kepercayaan masyarakat. Prestasi keempat Firli, bersama komisioner lain, rajin melanggar Kode Etik. Prestasi kelima Firli, dan ini yang jumbo, beliau ditetapkan sebagai tersangka karena kasus pemerasan. Prestasi lain, 19 pegawai diduga melakukan pemerasan terhadap tahanan atau keluarganya, sejak tahun 2021.

Tragisnya, KPK yang dipercayai gerakan reformasi mahasiswa untuk memberantas korupsi justru berubah menjadi Komisi Penyuburan Korupsi. Sebab, Ketua KPK, Firlah Bahuri sudah ditetapkan sebagai tersangka karena terlibat korupsi. Bahkan, empat komisioner lainnya diduga turut terlibat. Sebab, pengalamanku selama delapan tahun di KPK, mustahil kebijakan, tindakan, dan perilaku seorang komisioner tidak diketahui mitra kerjanya. Apalagi berkaitan dengan penegakkan kode etik. Sejarah mencatat, pimpinan KPK edisi ini yang paling banyak melanggar kode etik.

Sebagai ilustrasi, seorang Komisioner menulis di lembar desposisi pimpinan KPK dengan tulisan berwarna merah, dibawah ke Komite Etik. Saya yang ditunjuk sebagai Kordinator Komite Etik waktu itu (2005), berusaha mendamaikan kelima komisioner. Sebab, menurutku, “pertengkaran” yang terjadi diakibatkan kesalah-pahaman di antara para komisioner mengenai strategi pemberantasan korupsi. Justru, komisioner yang “ditersangkakan” meminta dibentuk Komite Etik. Tidak seperti KPK edisi ini yang membiarkan komisoner mengundurkan diri karena tidak mau diperiksa Dewas.

Tahun 2011, saya kembali ditunjuk sebagai Ketua Komite Etik. Terperiksanya (“tersangka”), salah seorang wakil Ketua KPK. Beliau dipersalahkan karena menemui salah seorang anggota DPR di hotel tanpa tugas dari Lembaga. Padahal, yang dilakukan beliau justru untuk kepentingan KPK. Beliau minta agar anggaran pembangunan kantor baru KPK, segera disetujui Komisi 3 DPR. Sebab, rencana anggaran tersebut sudah disetujui Kemenkeu. Hal ini sangat mendesak karena waktu itu, daya tampung kantor KPK sudah “overload.” Bahkan, sebagian pegawai harus berkantor di salah satu lantai Kantor BUMN di Jalan Merdeka Barat, Jakpus. Begitu pula halnya, Ketua KPK (2013) diperiksa Komite Etik. Sebab, beliau diduga lalai dalam mengawal sekretarisnya yang membocorkan sprindik ke wartawan sebelum waktunya. Dahsyatnya, Ketua KPK ini, ikhlas diperiksa Komite Etik sebagai teladan bagi masyarakat bahwa, siapa dan apa pun jabatan, harus siap menghadapi proses hukum. Bahkan, beliau rela HP-nya disita Komite Etik.
Bandingkan KPK sekarang. Firli yang menerima gratifikasi berupa fasilitas helikopter untuk pulang kampung, hanya diberi peringatan oleh Dewas. Ada pula komisioner yang menerima tahanan di dalam ruangannya. Padahal, beliau bukan Penyidik atau JPU sehingga tidak ada otoritasnya untuk bertemu tersangka atau terdakwa. Firli, beberapa kali mangkir dari pemeriksaan Dewas. Bahkan, ketika pembacaan putusan akhir Dewas pun tidak dihadiri olehnya.

Paku Integritas
KPK mengundang capres dan cawapres 2024 mengikuti kegiatan Penguatan Anti Korupsi bagi Penyelenggara Negara ber-Integritas (PAKU Integritas). Dalam acara tersebut, Komisioner menggunakan tema Integritas. “Paku Integritas dimaksudkan untuk memberikan penguatan integritas dan antikorupsi kepada para Pasangan Capres dan Wapres agar selalu memberikan keteladanan dalam menjalankan peran dan tugasnya nanti serta selalu menghindari diri dari perilaku koruptif.” Demikian tulis Wawan, Direktorat Pendidikan dan Sosialisasi KPK dalam keterangan tertulisnya.

Pertanyaannya, apakah pimpinan KPK sekarang pantas bicara mengenai integritas.? Sebab, faktanya, semua komisoner KPK dapat dikatakan krisis integritas. Tragisnya, belum pernah terjadi di mana pegawai KPK memeras tahanan dan keluarganya. Bahkan, sampai ada perilaku pelecehan seks terhadap keluarga tahanan. Apalagi, informasi terakhir dari Dewas, 93 pegawai akan diperiksa karena terlibat kasus pemerasan di rutan KPK. Kekhawatiranku, ada lagi komisioner yang menyusul boss mereka, Firli, sebagai tersangka kedua atau ketiga.

Kelakarnya, forum itu bukan dijadikan media bagi capres/cawapres meng-kampanyekan ide dan program mereka tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi. Namun, forum itu justru digunakan sebagai media kampanye komisioner KPK. Ya, siapa tau, ada yang direkrut sebagai Menteri pasca Pilpres.
Para komisioner mungkin tidak tahu, capres 01 itu pernah jadi Ketua Komite Etik KPK bersama saya, pak BW dan pak THP, tahun 2013. Jadi, beliau lebih paham pencegahan korupsi dibanding kelima komisioner yang ada. Apalagi, Universitas Paramadinah, pimpinan Anies Baswedan adalah universitas swasta pertama di Indonesia yang mewajibkan mahasiswa mengambil mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi, sebanyak 2 SKS. Sesudah itu, baru ITB sebagai universitas negeri pertama yang mengajarkan mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi (2006).

Kita tunggu saja, apakah KPK periode ini berani mempermasalahkan harta kekayaan yang dilaporkan dalam LHKPN oleh ketiga pasang capres/cawapres, baik sebelum maupun sesudah Pilpres. Semoga !!! (Depok, 18 Januari 2024)

 

 

 

 

Loading

redaksi