3 Oktober 2024
HJ FAISAL PsyWar k

ARAHBANUA.COM

 

Oleh: H J FAISAL   

 

Meskipun bermain media sosial dengan menggunakan akun anonim, namun para netizen negeri Indonesia ternyata tetap dapat menelusurinya, siapa sebenarnya pemilik akun fufufafa. Meskipun semua cuitannya sudah terjadi sejak tahun 2014 yang lalu, namun jejak digital tidak akan semudah itu dapat terhapus begitu saja.

Dan eng ing eng…….ternyata berdasarkan ‘keberaniannya’ dan ‘kelancangannya’ serta ‘kedangkalan berpikirnya’ dalam mengomentari dan menghina sosok Prabowo Subianto dan keluarganya, dan juga menghina secara rasis salahsatu kader partai Gerindra di Papua, maka ketahuanlah siapa pemilik asli akun fufufafa tersebut setelah dikulik habis oleh para netizen Indonesia yang rasa ‘keponya’ memang tidak memiliki batas. Disinyalir kuat pemilik akun tersebut adalah ‘sang pangeran’ negeri ini.

Jadi, di tengah berbagai macam diskusi tentang rendahnya sumber daya manusia Indonesia pada umumnya dalam bidang tekonologi informasi, namun ternyata kemampuan manusia negeri Indonesia dalam menyelam di dunia digital patut dibanggakan juga.

Ya, jejak digital yang seharusnya digunakan oleh manusia sekelas ‘pangeran’ di negeri ini, justru digunakan untuk menanggapi segala sesuatunya dengan hinaan, kalimat rasis, bahkan kalimat mesum. Meskipun sebenarnya dia bisa saja menahan diri untuk tidak berkomentar demi menjaga nama baik atau citra bapaknya, sang ‘raja jawa’ yang baru saja naik tahta pada waktu itu, namun karena kedangkalan pemikiran ‘sang pamngeran’ akhirnya dia tetap melakukannya.

Terlihat sudah betapa minusnya kualitas diri, dan kualitas pemikiran ‘pangeran’ ini tentang nilai-nilai etika dalam bernegara. Sepertinya pepatah ‘Like father like son’ jelas-jelas ada benarnya juga.

Tetapi, bukanlah negeri Indonesia namanya, jika tipikal manusia penghuninya adalah manusia-manusia jujur yang kesatria dan bertanggungjawab. Tipikal manusia penghuni negeri ini adalah tipikal manusia-manusia yang senang sekali menjerumuskan diri mereka dalam kebohongan dan kepalsuan, dan suka lari dari tanggungjawab, termasuk juga sang pangeran.

Dan tentu saja para punggawa dan penjilat yang berada di sekitar lingkungan istana juga akan bersedia mengorbankan diri mereka demi menjaga ‘kehormatan’ sang pangeran dan kehormatan keluarga istana. Bantahan demi bantahan yang berisi kebohongan terus dikeluarkan oleh mereka. Karena itulah mereka terkenal dengan sebutan ‘Pasukan Buzzer alias Pasukan Juru Bantah Istana.’

Namun seperti biasanya, dari bantahan-bantahan tersebut, mereka pastinya tidak berani melakukan uji balistik data melalui database internet providernya. Karena menurut para ahli siber di negeri ini, pada dasarnya sangat mudah untuk mengetahui identitas hingga alamat pemilik akun, sebab IP Address terkait unggahan akun fufufafa tersebut dapat diakses melalui database operator internet provider yang dipakai saat membuat akun, saat login, dan saat membuat unggahan.

Namun demikian, pelacakan akun akan sulit dilakukan, jika pengguna akun fufufafa login menggunakan jaringan Wireless Fidelity (Wi-Fi). Alasannya, disebabkan informasi login yang tersimpan tidak begitu lengkap, dikarenakan data login tidak tersimpan di router Wi-fi.

Namun dari semua hiruk pikuk yang terjadi tersebut, saya dapat memastikan bahwasannya tidak akan ada kelanjutan apapun dari ‘kasus’ fufufafa ini ke depan ranah hukum.

Mengapa demikian? Ya karena alasan utamanya adalah, karena objek yang dihina oleh akun fufufafa tersebut dipastikan tidak akan melakukan somasi atau pengaduan hukum apa-apa terhadap si pemilik akun fufufafa ini, disebabkan objek utama yang terhina oleh akun fufufafa tersebut sudah mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu kekuasaan untuk menjadi ‘sang raja’ baru, melalui bantuan sepenuhnya ‘sang raja’ negeri sebelumnya yang turun tahta, bapaknya sang pangeran fufufafa.

Dengan kata lain, secara filosofis empirik, objek yang dihina oleh akun fufufafa yang disinyalir milik ‘sang pangeran’ ini memang pada akhirnya bisa berkuasa, meskipun dalam keadaan terhina. Dan lucunya lagi, justru si penghinanya tersebut yang menjadi wakilnya dalam berkuasa saat ini. Sungguh sangat ironi dan menyedihkan sekali keadaan negeri ini, bukan?

Karena sesuai dengan UU No. 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 30, yang mengatur tentang larangan mengakses komputer atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun, dan pengusutan hanya bisa dilakukan ketika ada laporan tentang kejahatan atau memuat unsur kriminal dalam postingan akun tersebut. Adapun postingan di akun fufufafa yang diduga mengandung unsur ujaran kebencian, hinaan, rasisme, dan mesum tersebut hanya bisa diusut jika ada aduan dari objek yang merasa terhina.

Artinya, penegak hukum hanya bisa bertindak jika ada pihak yang merasa dirugikan membuat aduan. Dalam hal ini, laporan tersebut harus berasal dari perorangan dengan identitas spesifik, bukan institusi, profesi atau jabatan. Dengan kata lain, aduan kepada polisi harus dilakukan secara pribadi oleh objek yang merasa menjadi korban ujaran kebencian tersebut.

Jadi, meskipun objek yang terhina dalam akun fufufafa tersebut sudah dihina habis-habisan harga dirinya oleh si pemilik akun fufufafa, tetapi jika yang dihina dan dipreteli harga dirinya tersebut merasa baik-baik saja, atau bahkan merasa ‘senang’ dengan hinaan tersebut, ya sudah……in sya Allah tidak akan terjadi apa-apa.

Maka, berkaca dari kejadian fufufafa sang pangeran ini, disitulah refleksi jatuhnya harga diri sebuah bangsa terlihat, jika hancurnya etika dan moral sebuah bangsa sudah tidak lagi dipermasalahkan, maka yang terjadi adalah sebuah kehancuran bangsa, yang dilandasi kehausan akan kekuasaan.

Aiisssh….sudahlah, tidak perlu terlalu serius untuk menanggapi hal fufufafa ini. Bukankah jilat menjilat, berbohong, saling menghina, dan senang lari dari tanggungjawab sudah menjadi tipikal rakyat dan para pemimpin di negeri ini? Jadi, menurut saya, tidak ada istimewanya samasekali dalam melihat drama seperti darama fufufafa di negeri ini, bukan?

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 14 September 2024

*Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI

Loading

redaksi