Penulis: OVAMIR ANJUM
Editor: Reza Nasrullah
arahbanua.com, Banjarbaru-
‘Ali Abd al-Raziq berargumen bahwa risalah Nabi saw. bersifat keagamaan dan kerohanian, bukan politis. Buktinya adalah klaim bahwa Al-Qur’an tidak pernah memerintahkan khilafah, begitu pula Sunnah.
66. Dia pasti tahu jika Al-Qur’an tidak menyebut atau menamai sesuatu, itu bukanlah argumen untuk ketidakwajiban atau ketidakvalidannya. Lagi pula, Al-Qur’an tidak menyebutkan jumlah salat harian, atau menentukan koordinat geografis kota tempat Nabi saw. dilahirkan, atau tempatnya dimakamkan, dan seterusnya; hal-hal ini hanya diketahui melalui transmisi pengetahuan dari para sahabat dan generasi berikutnya. Menurut para ulama secara umum, Al-Qur’an menyebutkan kewajiban langsung dan tidak langsung bagi komunitas beriman (disebut dalam Al-Qur’an sebagai orang-orang beriman atau ummah) untuk bersatu di bawah pemimpin dari kalangan mereka, di samping Al-Qur’an juga berisikan banyak perintah konstitusional, politik, dan hukum—yang hanya dapat diterapkan dalam pemerintahan Islam otonom. Signifikansi perintah langsung seperti surah an-Nisaa ayat 59 (“Taatilah … pihak yang memiliki otoritas di antara kamu”)
67. Dikonsolidasikan dengan perintah dan referensi tidak langsung yang tak terhitung banyaknya. Contohnya :
1. keharusan menjadi komunitas berbeda yang anggotanya dilarang menjalin aliansi kompromistis dengan orang luar;
2. perintah membuat perjanjian perang, perdamaian, dan politik sebagai komunitas berdaulat;
3. tidak menaati hukum selain hukum Allah, sehingga komunitas harus berdaulat secara hukum;
4. menegakkan hukum dalam semua bidang kehidupan kolektif, termasuk hukum pidana, kehidupan perkawinan dan sosial, peraturan komersial dan keuangan, dan seterusnya; dan akhirnya,
5. “kebijakan luar negeri” yang berbeda ketika Nabi saw. mengirimkan surat kepada para penguasa dan kaisar negara tetangga (yang menyiratkan kewajiban penerusnya menindaklanjuti surat-surat ini), di samping perangnya untuk menghukum para nabi palsu seperti Ṭalḥa, Musaylima, serta suku-suku lain yang berkhianat dan memberontak setelah masuk Islam,68serta perintahnya untuk menyiapkan perang di perbatasan Romawi sebelum dia wafat, dan seterusnya.
Semua faktor ini tentu saja menuntut para pengikut Nabi saw. agar membentuk komunitas politik yang berdaulat dan mengendalikan, jika bukan memonopoli, alat-alat kekerasan. Hal-hal di atas merupakan fakta sejarah tidak terbantahkan yang menunjukkan bahwa penerus Nabi saw. hanya mematuhi perintahnya dan melanjutkan kebijakannya. Dari perspektif sejarah, seandainya para sahabat dan kemudian Bani Umayyah tidak melanjutkan aktivisme politik dan militer Nabi, Islam tidak akan lebih dari sekadar pengetahuan tribal yang terlupakan dalam untaian sejarah.
Sunnah jauh lebih eksplisit tentang masalah penerus kepemimpinan. Banyak hadis memerintahkan ketaatan kepada penerus Nabi saw. sebagaimana disebut Ibnu Taimiyah di atas.
Faktanya, ‘Ali ‘Abd al-Raziq tampaknya tidak menyadari bahwa para ulama terkemuka telah membahas keprihatinannya secara panjang lebar. Sebagai ulama pengikut mazhab Asy’ariyah yang tidak menerima hadis tunggal (āḥād) sebagai dasar kepastian, dan membatasi pengetahuan definitif hanya pada hadis yang diriwayatkan berkali-kali (mutawātir), Al-Juwayni menulis karyanya di atas untuk secara gamblang memberikan bukti tak terbantahkan tentang kewajiban khilafah. Sebaliknya, Ibnu Taimiyah—yang berpendapat bahwa kepastian itu mungkin walaupun berdasarkan hadis yang tidak mutawātir, dan kemampuan akal menetapkan kewajiban agama—menggunakan banyak hadis sahih sekaligus konsensus dan argumen rasional, untuk menyatakan hal yang sama.
69. Namun, kesalahan besar ‘Abd al-Raziq adalah konseptual: dia tampaknya telah mengambil dikotomi agama-versus-politik modern dari Eropa dan—karena tidak menyadari dikotomi yang baru dibuat ini, asing bagi Islam dan berasal dari kecenderungan otokratis penguasa Eropa yang memanipulasi agama untuk dekadensi mereka—menerapkannya pada teologi dan sejarah Islam. Bagi siapa pun yang tidak terdidik dalam sekularisme Barat, pemisahan perintah Al-Qur’an dan Sunnah sebagai ‘religius’ atau ‘sekuler’ akan tampak sewenang-wenang dan tidak dapat dijustifikasi.
Serangan ‘Abd al-Raziq menjadi kuat karena dia mengerti taruhannya: dia tidak hanya meremehkan bukti dari Al-Qur’an dan diskursus tradisional yang disebutkan di atas tentang masalah ini, tetapi langsung menyerang Abu Bakar dan para sahabat lainnya atas Perang Ridda, yang merupakan langkah pertama konsolidasi otoritas politik Madinah di Arab. Menurut ‘Abd al-Raziq, mereka pada dasarnya setuju dengan Abu Bakar, mau atau tidak, dalam mengobarkan perang duniawi atas nama agama melawan suku-suku Muslim yang sebenarnya baik namun menentang otoritas Madina.
70. Disadari atau tidak, ‘Abd al-Raziq bersedia mencampakkan bukan hanya konsensus tetapi juga integritas para sahabat terdekat Rasul Terakhir Allah, orang-orang yang integritasnya justru dijamin dalam Al-Qur’an, dan dari merekalah diambil konsensus yang merupakan satu-satunya jaminan pelestarian Al-Qur’an itu sendiri. Bersama-sama, kedua hal ini membentuk fondasi Islam yang paling mendasar.
KOMENTAR TERBARU