Penulis: OVAMIR ANJUM
Editor: Reza Nasrullah
arahbanua.com, BANJARBARU-
Model khilafah normatif pertama dan satu-satunya bagi mayoritas Sunni mencakup empat penerus awal Rasulullah saw., yang kemudian disebut rasyidin (terbimbing dengan benar).
Pada awalnya, otoritas agama dan politik tidak dibedakan secara sistematis, dan khalifah atau penerus Nabi memainkan kedua peran ini. Kurang dari satu abad kemudian, muncullah model lain yang menggariskan bahwa khilafah utamanya menjadi pranata politik, sementara otoritas agama secara bertahap terbagi antara khalifah dan ulama (orang-orang berilmu).
Para ulama, kelas cendekia yang baru saja muncul, kini semakin berperan sebagai pemimpin sosio-religius komunitas Muslim perkotaan dan mazhab-mazhab intelektual. Dalam praktiknya, kekuasaan khalifah sebenarnya tidak pernah mutlak, tetapi para ulama mulai berteori tentang batasan dan fungsi khalifah mulai abad ke-10 (ke-4 Hijriah).
Para khalifah awal memerintah imperium terbesar di dunia dari kota kecil Madinah sebagai yang pertama di antara yang sederajat (primus inter pares). Model egaliter, terakses langsung, dan berbasis kesalehan ini terbukti tidak sesuai untuk kebutuhan imperium luas yang wilayahnya berjauhan. Kemudian ia berubah menjadi khilafah imperium di zaman Umayyah akhir dan Abbasiyah Tinggi. Pada puncaknya, selama abad ke-8 (ke-2 H) dan ke-9 (ke-3 H), Khilafah Abbasiyah yang berpusat di Baghdad adalah imperium terkaya dan terbesar yang pernah ada di dunia dari segi harta per kapita.
30. Khilafah ini juga mengadopsi simbolisme pra-Islam a la Imperium Sasaniyah, di mana seorang kaisar terhormat, demi mewujudkan keadilan total, harus menunjukkan aura absolutis seperti dewa. Kekuasaan khalifah aktual, baik dalam realitas maupun Hukum Islam, sebenarnya terbatas, terkadang sangat drastis. Inilah model khilafah kedua.
Ketika kekuatan aktual khalifah di Baghdad berkurang, muncullah model ketiga ketika khalifah terutamanya menjadi otoritas simbolis dan spiritual; penguasa aktual di berbagai provinsi acap kali adalah gubernur lokal atau komandan militer yang tidak memiliki legitimasi inheren, sehingga tetap menghormati khalifah.
Model ini berlangsung selama kira-kira lima abad. Di era klasik inilah mengkristal hukum, teologi, dan pemikiran politik Islam. Kekuatan simbolis khalifah sangat diperlukan, dan pemulihan kekuatan aktualnya masih dimungkinkan.
Salah ad-Din, pahlawan Islam termahsyur dari abad ke-12 sekaligus yang merebut kembali Yerusalem dari Tentara Salib dan banyak dicintai karena menunjukkan kemurahan hati, gugur dalam rangka mencari tetapi tidak mendapatkan persetujuan khalifah di Baghdad; persetujuan ini penting untuk mengabsahkan otoritas seorang penguasa, tidak peduli apa pun prestasinya.
Keberadaan khalifah menjadi semakin jelas mewakili dua kontinuitas penting bagi umat Islam: (1) hubungan simbolis kepada Nabi saw. dan para khalifah yang Terbimbing dengan Benar, yaitu orang-orang yang diteladani perilakunya, dan
(2) kontinuitas spasial (atau kesatuan) semua Muslim, yang sedang hidup di dalam masyarakat berjejaring di banyak wilayah Afrika, Asia, dan Eropa, serta diperintah berbagai raja dan gubernur lokal. Kedua kontinuitas ini membuat fragmentasi politik, sektarianisme agama, dan persaingan budaya dapat dikelola dengan baik, sehingga berhasil mencegah kecenderungan sentrifugal terburuk dan mencegah kawasan dari peperangan dan kebiadaban.
Masyarakat ini utamanya diatur oleh penguasa lokal dan ulama melalui hukum Islam. Raja atau sultan menjabat sebagai “kepala pelayan” atau, dalam istilah sekarang, sebagai cabang eksekutif, yang penting untuk pertahanan dan pemeliharaan hukum, tetapi selalu dapat diganti. Mereka datang dan pergi tanpa mengubah norma, hukum, atau lembaga dalam masyarakat besar ini. Model ketiga ini disebut “konstitusionalisme Islam klasik.”
31. Hal ini penting karena, dengan pengecualian beberapa abad pertama, seperti inilah khilafah terwujud dalam sebagian besar sejarah Islam.
Khilafah jauh dari sempurna, dan para ulama paling berpengaruh yang membahas masalah politik—mulai dari al-Mawardi (w. 1058 M/450 H), al-Juwayni (w. 1085 M/478 H), al-Ghazali (w. 1111 M/505 H), hingga Ibnu Taimiyah (w. 1328 M/728 H)—menganggap perampasan kekuasaan khalifah oleh tokoh militer tidak dapat diterima, kecuali dalam situasi luar biasa. Al-Ghazali menyamakan penerimaan terhadap Sultan Seljuk pada masanya (yang berpura-pura menerima otoritas tertinggi Khalifah Abbasiyah tetapi sebenarnya justru mencemooh otoritas ini) seperti memakan bangkai: hal yang hanya diizinkan dalam rangka mempertahankan hidup ketika tidak ada makanan lain.
Begitu juga ulama lain, khususnya Ibnu Taimiyah, seperti yang kita lihat nanti. Selama paruh pertama model ini sebelum serangan Mongol pada 1258 M (656 H), kekuatan simbolis khalifah yang berbasis di Baghdad memang signifikan, tetapi bahkan setelah itu pada periode Mamluk—ketika Khalifah Abbasiyah berbasis di Kairo kehilangan semua kekuasaan—di wilayah Muslim yang jauh seperti Delhi dan Timbuktu, surat penobatan dari khalifah sangat penting untuk menandai perbedaan antara perampasan kekuasaan dan legitimasi dalam tubuh politik Muslim.
Model khilafah keempat, yang merupakan campuran antara model kedua dan ketiga, muncul ketika Khilafah Utsmaniyah secara politik menyatukan Eropa Timur, Asia Barat, dan Afrika Utara di bawah satu imperium paling berjaya, stabil, dan kuat selama sekitar empat ratus tahun. Sultan Utsmaniyah (yang mengambil gelar “khalifah” setelah mengalahkan Kesultanan Mamluk di Kairo), menegakkan hukum syariah yang dijabarkan dan dikelola para ulama sebagai mufti dan hakim. Pada saat itu, kekuasaan khalifah-sultan itu terbatas. Pernah seorang sultan digulingkan karena putusan kepala kadi (hakim). Namun para sultan bisa juga berkuasa lalu bertindak sewenang-wenang, melanggar norma-norma Islam yang mengekang kepentingan mereka. Berbeda dari Khilafah Utsmaniyah di Timur Tengah dan Afrika Utara serta Mughal di India, yang memerintah orang Hindu sebagai rakyat mayoritas, saingan Syi’ah mereka, Safawi, mendasarkan legitimasi mereka pada klaim teokratis kukuh. Klaim Utsmaniyah atas khilafah kadang-kadang dibayangkan dengan cara-cara mistis. Sufisme Anatolia membantu membayangkan Khalifah Ottoman sebagai penguasa, pembimbing rohani, dan perumus hukum bagi semua Muslim, meskipun tidak ada upaya politik—dan mungkin tidak terpikirkan—untuk menggabungkan tiga imperium Muslim yang luas menjadi satu tatanan politik
32. Faktor umum penting dalam tiga model terakhir adalah khalifah tidak memiliki otoritas agama kecuali dalam urusan publik yang terbatas. Di zaman Utsmaniyah, para sufi dapat mengandaikan khalifah sebagai bayang-bayang Tuhan di bumi, dan bahkan ilmu gaib dapat digunakan untuk membuat ramalan dan membenarkan kebijakan, tetapi mazhab hukum Hanafi (tulang punggung imperium ini) memastikan klaim seperti ini hanya beredar di pondok-pondok sufi.
Bernard Lewis, pakar studi Orientalis neokonservatif properang yang terkenal, mengakui hal ini: teokrasi dalam Islam (Sunni) tidak mungkin ada. Pluralisme epistemologis yang melekat dalam yurisprudensi Sunni dan tidak adanya lembaga seperti gereja abad pertengahan untuk berbicara atas nama Tuhan menghalanginya. Keragaman suara yang menafsirkan kitab suci dan tradisi berarti dua hal: bahwa otoritas agama itu terbagi dan polifonik serta elite penguasa tidak akan pernah bisa mengontrol otoritas agama, dan, sebagai hasilnya, muncullah sistem organik sosial-keagamaan bagi keseimbangan kekuasaan.
Singkatnya, model khilafah ketiga dan keempat, yang berlangsung selama seribu tahun, bukanlah teokratis ataupun absolutis. Secara umum, kebebasan komunitas yang hidup di bawah kekuasaan mereka terjamin: Muslim dari berbagai mazhab, Yahudi, Kristen, dan penduduk lain dapat hidup sebagai komunitas yang relatif bebas. Meskipun jauh dari sempurna, sistem ini lebih efektif dalam memfasilitasi kehidupan yang adil dan berpusat pada Tuhan dibandingkan banyak negara Muslim modern dan bahkan negara demokrasi. Berbeda dari model liberal modern, komunitas dan norma-norma komunal dianggap perlu untuk menjamin keberadaan manusia yang layak, itulah sebabnya bahkan non-Muslim pun bebas hidup dengan norma-norma agama yang mereka yakini. Pada kedua model ini, neraca antara hak individu dan komunal sering berat ke arah komunal. Para khalifah Utsmaniyah, seperti halnya kaisar Romawi dan Yunani, adalah administrator dan pembangun lembaga, yang mengubah dhimmi (model komunitas yang dilindungi berbasis Al-Qur’an) menjadi lembaga yang mencakup berbagai komunitas agama dan diwakili para pemimpin mereka di Ibu kota Utsmaniyah. Ini dikenal sebagai sistem millet.
33. Ketika negara-bangsa modern abad ke-19 menghadapi Khilafah Utsmaniyah dalam posisi setara dan kemudian melampaui kekuatan ekonomi dan militernya, Khilafah ini menyesuaikan dan akhirnya memodernisasi militer, perekonomian, dan masyarakat mereka—sesuai urutan ini—dalam waktu yang relatif singkat. Batas-batas organik, sosial, dan komunal lama terhadap kekuasaan sultan diganti dengan konstitusi, tetapi Khilafah ini tidak selamat dari Perang Dunia Pertama. Para sejarawan modern berpendapat bahwa gambaran sebuah rezim bobrok yang tidak dapat bertahan (ingat gagasan yang menyebut Khilafah Utsmaniyah sebagai “orang sakit Eropa”) sebagai sesuatu yang tidak benar; pada kenyataannya, Khilafah ini bisa selamat jika mereka berada di pihak pemenang perang. Kita bisa menyebut khilafah konstitusional yang berumur pendek ini sebagai model potensial kelima.
KOMENTAR TERBARU