Penulis : Reza Nasrullah*
arahbanua.com, BANJARBARU –
SEBUAH TULISAN REFLEKSI PADA 20 TAHUN YANG SILAM. YAKNI TENTANG MASIH MARAKNYA DAYA MORAL PUBLIK MENYIKAPI PERPOLITIKAN TANAH AIR INDONESIA.
ANEH BIN AJAIBNYA 20 TAHUN KEMUDIAN KETIKA SIKON POLITIK NKRI KHUSUSNYA DALAM 8 TAHUN TERAKHIR DIPENUHI KERUSAKAN PERILAKU PARA POLITISI, GERAKAN SERUPA SEPERTI KOALISI AKSI MENYELAMATKAN INDONESIA (KAMI) YANG DIMOTORI OLEH PROF DIN SYAMSUDDIN JUSTRU KURANG MENDAPAT SAMBUTAN PUBLIK SECARA MEMADAI SEHINGGA LAYU SEBELUM BERKEMBANG.
APAKAH KITA BANGSA INDONESIA SEDANG MENDERITA PENYAKIT CELAKA DUNIA AKHIRAT KARENA HARI INI LEBIH JELEK DARIPADA KEMARIN?
SEMOGA REFLEKSI DI BAWAH INI MAMPU MENYEMBUHKAN PENYAKIT DI ATAS DAN MEMBANGKITKAN KESADARAN POLITIK YANG MURNI DAN BERMORAL TINGGI DEMI MENYELAMATKAN “KAPAL” NKRI YANG SEDANG OLENG HAMPIR TENGGELAM OLEH PERSEKONGKOLAN PARA POLIITISI “BUSUK” ZAMAN NOW. AAMIIN ROBBANAA WA TAQABBAL DU’AA.
Atmosfir perpolitikan Indonesia tiba-tiba diselimuti aroma dan nuansa baru ketika para organisasi peserta pemilu yang terdiri atas 24 parpol menyusun dan menetapkan sejumlah nama para calegnya, yakni dengan munculnya gerakan bersifat moralitas-sosial yang menamakan dirinya Gerakan Anti Politisi Busuk. Dideklarasikan di Jakarta oleh sejumlah tokoh, di antaranya Faisal Basri (mantan Sekjen PAN) dan Nurcholish Majid (mantan kandidat Capres dari Golkar dan sekarang belum mendapat parpol pengusung pencapresan). Kemudian disambut oleh dukungan-dukungan dari pelbagai daerah, terutama oleh para tokoh muda dan elemen mahasiswa. Bahkan telah berdiri posko-posko pengaduan politisi bermasalah di beberapa kota dengan pusat di gedung Da’wah Muhammadiyah Jakarta.
Untuk sebagian masyarakat Indonesia gerakan tersebut memang ditunggu-tunggu, terlebih lagi telah beredar secara bisik-bisik tentang sejumlah nama yang tergolong politisi busuk yang disebut-sebut berasal dari sebuah partai yang masih besar sampai saat ini dan pernah menjadi single majority pada era orde baru. Termasuk pula nama-nama mereka yang saat ini adalah para ketua parpol ‘besar’. Tak pelak dan tak terhindarkan kemudian mencuatnya pro kontra yang cukup tajam. Karena bagaimanapun hal ini pasti akan menyinggung hati mereka yang dikategorikan sebagai politisi busuk. Selain kriteria yang digunakan bersifat sepihak, juga dikarenakan mereka yang dituding-secara faktual-memiliki pengikut dari kalangan rakyat tertentu dengan ukuran segmen yang cukup signifikan dan sepintas masih layak dianggap akseptabel dan kredibel.
Penggunaan Istilah yang Santun
Penamaan terhadap seseorang dengan istilah politisi busuk merupakan perilaku yang tidak beretika, setidaknya kurang sopan dalam ukuran budaya Indonesia yang masih mempertimbangkan nilai-nilai agama sebagai rujukan. Salah satu contoh adalah bagaimana Allah SWT mengajarkan dalam al-Qur’an,”dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk”(Q.S. 49:11).
Di sisi lain hak menilai dan memvonis keadaan sikap dan perilaku seseorang tidaklah didasarkan kepada kemampuan obyektif manusia semata. Bahkan, vonis pengadilanpun belum cukup shohih untuk menetapkan seseorang baik atau buruk, dikarenakan sistem hukum yang diterapkan dan hakim yang memutuskannya pun perlu dicermati terlebih dahulu secara seksama. Untuk itu dianjurkan untuk memberikan gelar yang tetap santun dengan tujuan agar tidak dipilih oleh masyarakat. Misalnya: politisi yang tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat atau politisi yang lebih banyak mengabaikan kepentingan masyarakat atau politisi yang masih mendahulukan kepentingan pribadi, keluarga, dan partai politiknya atau politisi bermasalah. Hal ini dimaksudkan pula sebagai upaya membangun budaya berpolitik yang santun dan bermoral. Bukankah bangsa kita merupakan sebuah masyarakat besar yang masih menjadikan akhlakul karimah sebagai ukuran dalam membangun sikap dan perilaku baik dalam sisi individual maupun kolektif?
Penggunaan istilah yang santun juga akan menunjukkan siapakah sebenarnya orang yang menggunakan istilah-istilah semacam itu. Maka apabila ingin memperbaiki orang lain benahilah dulu kondisi diri sendiri dengan memulai pada aspek yang paling memungkinkan. Lagipula, apa ruginya menggunakan kata-kata yang santun? Cobalah kita renungkan istilah busuk tersebut. Busuk adalah sebuah kondisi yang tidak enak untuk dilihat, dicium, dan dimakan. Sejauh itukah kita melihat siapapun yang telah dituding sebagai politisi busuk?
Karakter Budaya Sosial di Indonesia
Jujur saja, saya adalah salah seorang yang khawatir dengan keberhasilan gerakan moral anti politisi bermasalah. Kenapa? Bukan karena saya adalah satu di antara sekian banyak yang berkecimpung di dunia politik sehingga berapologi (barangkali para politisi tanpa kecuali bersedia membuka hati untuk menjadikan tulisan ini nasihat bagi diri pribadi). Namun yang paling utama adalah kenyataan karakter sosial-budaya bangsa kita yang belum dapat dimanfaatkan untuk membangun sebuah kekuatan besar dalam mendukung gerakan moral-sosial seperti ini. Marilah kita coba cermati beberapa karakter sosial-budaya bangsa kita berikut ini:
- Lebih menikmati kebaikan daripada keburukan
Pengertian ‘lebih menikmati kebaikan daripada keburukan’ adalah apabila diajak untuk menilai dan kemudian menyikapi supaya menjauhi keburukan, sedangkan masih dapat dilihat kebaikan-kebaikannya, maka masyarakat kita umumnya lebih senang membicarakan sampai dengan membangga-banggakan kebaikan-kebaikan yang pernah diperbuat oleh orang-orang yang konon atau dinilai buruk daripada mem”blow up” keburukan-keburukannya. Akibatnya apabila keburukan-keburukan semata yang disebut-sebut, mereka justru akan cenderung melakukan perlawanan tersembunyi dan pembelaan dengan diam-diam.
- Mudah memaafkan dibandingkan menghukum
Upaya yang dimaksudkan dengan penyebutan politisi bermasalah agar para politisi ini tidak bisa tampil lagi dalam kancah perpolitikan demi menjadikan kehidupan bernegara lebih baik, ternyata akan dapat dikalahkan oleh sifat pemaaf masyarakat dibandingkan harus menghukum. Hal ini adalah salah satu kelemahan mental masyarakat Indonesia yang dengan sangat lihay telah lama dimanfaatkan oleh politisi. Sifat pemaaf yang diartikan jangan memberikan penghukuman. Terlebih lagi apabila mereka melihat masih adanya kemungkinan para politisi bermasalah itu berbuat baik di masa-masa yang akan datang.
- Keakraban menjadikan canggung dalam bersikap bersebrangan
Hal lain yang perlu dipahami adalah bahwa karakter sosial-budaya kita adalah sifat akrab atau dekat yang mengakibatkan kesulitan tersendiri jika harus memilih sikap bersebrangan atau berlawanan atau ewuh pakewuh. Coba saja cermati diri sendiri, ketika mempunyai orang yang telah sangat dekat lalu melakukan kesalahan, ternyata kita tidak bisa secara langsung dan segera memberitahu atau menasihati. Hal ini akan menjadi kendala yang relatif cukup besar apabila ada yang mengajak melakukan upaya-upaya memperbaiki apalagi menggantikan seseorang yang terasa dekat sekian lama.
Bagaimana Memilih Politisi yang Amanah?
Dalam realitas kehidupan yang sedang berlangsung tidak dapat disangkal adanya kaitan yang takterpisahkan antara kehidupan pribadi, dengan kedudukan/jabatan, dan lembaga. Maka apabila saat ini ada upaya menyingkirkan para politisi busuk(sebaiknya politisi tidak amanah atau bermasalah), hendaknya juga mempertimbangkan aspek-aspek kedudukan sosial/jabatan dan lembaga tersebut. Sebagai contoh kasus, katakanlah misalnya seorang “presiden” partai G dituduh sebagai politisi bermasalah. Dengan melihat Partai G pernah berjasa dalam membangun bangsa Indonesia sekurang-kurangnya dalam aspek fisik dan ekonomi, adalah wajar jika sebagian besar masyarakat Indonesia tidak serta merta menilai beliau sebagai politisi bermasalah dan melakukan aksi besar-besaran menolaknya sebagai caleg. Terlebih lagi bagi para anggota Partai G yang harus loyal terhadap “presiden”nya. Bahkan adalah sebuah kenyataan yang pahit bagi sebagian kita dan harus ditelan bulat-bulat bahwa berjumlah cukup banyak orang kita yang memuji-muji bahkan merindukan kembalinya rezim orde sebelum reformasi berkuasa dalam pemilu 2004 ini. Ini memang sangat dilematis. Namun saran-saran berikut insyaallah masih membuka harapan akan sebuah terobosan dari dilema ini :
- Nasihatilah para politisi yang dianggap tidak amanah
Menggantikan orang-orang yang dianggap buruk dan tercemar dengan mereka yang dinilai baik dan benar adalah sebuah langkah ideal, tetapi untuk sampai pada keadaan tersebut ada kendala cukup besar, seperti aspek popularitas dan keterujian menghadapi realitas dinamika politik yang masih turut berperan besar.Maka apabila yang akan menggantikan tidak seterkenal dan sekualitas yang diganti, akan sulit bagi masyarakat untuk memilihnya karena belum pernah tahu secara baik. Untuk itu ambillah langkah memberikan nasihat dan membuat perjanjian tertulis, bahwa yang bersangkutan akan memperbaiki diri dan apabila tidak terbukti janjinya dalam selang waktu tertentu silahkan dipecat. Selama tenggang waktu memperbaiki diri hendaknya didampingi oleh orang-orang yang layak memberikan nasihat sampai dengan peringatan. Bahkan lembaga semacam MUI dapat dilibatkan.
- Tunjukkan kualitas calon pengganti
Gerakan moral anti politisi bermasalah hendaknya juga menyiapkan orang-orang yang menurut mereka dan masyarakat adalah manusia-manusia yang layak dijadikan anggota legislatif atau bahkan presiden. Untuk menunjukkan kelayakannya, hendaknya dilengkapi dengan data-data yang memperlihatkan kualitasnya sebagai politisi yang pantas dipilih. Mulai dari kepribadian sampai bagaimana ia berperilaku dalam kehidupan sehari-hari di rumah, bagaimana pendapat tetangganya, bagaimana dia di tempat kerja, dan bergaul di tengah masyarakat luas serta “track record” yang cukup meyakinkan. Jika perlu, lakukan tatap muka, bergaul langsung, atau gunakan kamera tersembunyi(candid camera?).
- Memperkuat basis-basis perjuangan agar bisa menyeluruh dan lestari
Bagaimanapun, sebagai sebuah langkah yang menunjukkan usaha sangat serius, gerakan ini haruslah disyukuri kemunculannya. Bahkan pada skala pribadi, gerakan ini harus terus memperkuat kualitas individu anggotanya. Bahkan perlu dilakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga yang berpengaruh besar seperti MUI, DGI, dan MAWI, serta parpol-parpol tempat berkiprahnya para politisi yang bermasalah. Setelah itu usahakan agar menjadi lembaga tetap yang mempunyai cabang di seluruh Indonesia, sehingga tidak terkesan temporer, padahal para politisi bermasalah terus melakukan regenerasi.
Penutup
Meskipun sangat terlalu dini memprediksi keberhasilan atau kegagalannya, namun sebagai bagian dari rasa syukur dan memberikan dukungan moral maka akan sangat baik jika kita cermati secara seksama apa saja yang sedang dan akan mereka lakukan. Bahkan kalau memungkinkan kita menjadi bagian tidak terpisahkan dari aktifitas mereka, mulai dari sekedar penyambung lidah, ikut menyumbang dana, sampai kepada aksi-aksi di lapangan agar semakin banyak orang mau mendengarkan,insyaallah.
Selain itu, sebagai sebuah gerakan yang bersifat moral alangkah indahnya bagi siapa saja yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan upaya-upaya pembersihan diri dan pencerahan-pencerahan perilaku. Hal ini merupakan konsekuensi logis apabila ingin orang lain melakukan sebagaimana yang diperjuangkan. Sebab ada sebuah peringatan dari Allah SWT, “ Mengapa kamu suruh orang lain( melakukan)kebajikan sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab?Maka tidakkah kamu menggunakan akalmu?”(QS.2:44).Dalam ayat lain, Allah SWT menegur kita, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bagi yang mengatakan tetapi tidak mengamalkan”(Q.S.61:2-3).
Wallahu a’lam bishowab.
*) Anggota DPRD Jawa Barat 1999-2004
KOMENTAR TERBARU