ARAHBANUA.COM
Oleh: Reza Nasrullah
ABSTRAK
Praksis politik mensyaratkan adanya pemahaman mengenai sejumlah konsep kunci komunikasi politik. Bagaimanapun hebatnya interaksi politik yang dilakukan, tujuan akan sulit tercapai jika tidak dikomunikasikan dengan baik. Pada titik inilah penting sekali pemahaman mengenai konsep-konsep kunci komunikasi politik, di antaranya menyangkut makna input/output bagi sistem politik, kontrol, feedback, dan sistem proses. Studi kasus mengenai sistem komunikasi politik di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa kinerja partai masih jauh dari harapan rakyat selaku konstituen pemilihnya. Kemungkinan besar, ini disebabkan karena macetnya sistem komunikasi politik dan kegagalan partai memanfaatkan saluran komunikasi untuk merangkul massanya
Pengantar
Komunikasi, sebagaimana telah dipahami, adalah suatu proses pertukaran pesan antara dua atau lebih pihak berdasarkan bahasa yang sama• sama dimengerti dan kepentingan tertentu pihak• pihak yang terlibat. Tetapi, komunikasi juga bisa hanya berupa penyampaian pesan satu arah, tan pa ada reaksi batik dari arah yang berlawanan.
Sedangkan ‘Politik’ mengandung bermacam•macam makna, di antaranya, (1) segala macam kegiatan untuk meraih kekuasaan/jabatan/ wewenang dalam konteks hubungan sosial dalam skala organisasi atau pun sistem sosial; (2) segala jenis aktivitas memaksimalkan manfaat dan maslahat dalam. kehidupan manusia dan meminimalkan keburukan/kesengsaraan, dan sebagainya; (3) segala pekerjaan mengurus kepentingan orang banyak/sosial demi terwujudnya kehidupan bersama yang sejahtera lahir dan bath in; (4) semua jenis/macam tindakan yang bersifat tipu-muslihat (siasat) demi mencapai tujuan; (5) lapangan pekerjaan bagi yang memiliki kemampuan mengerjakan salah satu atau lebih dari keempat pengertian politik di atas demi mendapatkan satu atau lebih dari hal-hal berikut: penghasilan, kekayaan, kepuasan emosional dan atau material, karier politik, kepuasan spiritual.
Gabungan dua kata, yaitu Komunikasi Politik, akan memberikan gambaran tentang perpaduan kedua pengertian komunikasi dan politik. Satu hal yang intrinsik pada politik adalah adanya kepentingan yang harus/wajib/mutlak diwujudkan oleh yang punya kepentingan tersebut bagaimanapun caranya, halal dan atau haram. Sedangkan komunikasi merupakan salah satu kegiatan yang bisa dilakukan oleh seorang politisi, di samping berbagai macam kegiatan yang mungkin/bisa dia lakukan demi mencapai tujuannya. Namun komunikasi bagi politik sangat penting karena politik adalah interaksi sosial, dan interaksi sosial tidak akan pernah terjadi tanpa komunikasi. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa komunikasi adalah kunci dalam politik. Seorang politisi yang sukses adalah pelaku komunikasi (komunikator) yang baik.
Komunikasi politik telah, sedang, dan akan terus menjadi fenomena yang sangat menentukan• kalau tidak mau dikatakan paling menentukan• dal am setiap dinamika kehidupan manusia kapanpun dan di mana pun baik pada skala bangsa dan atau antarbangsa. Maka, untuk memahaminya secara utuh untuk dimanfaatkan secara positif, kita bisa memakai pendekatan sistem yang terdiri atas parameter-parameter: input, proses, output, feed• back, kontrol, dan lingkungan.
Input bagi Sistem Komunikasi Politik
Input atau masukan bagi sistem ini adalah unsur-unsur yang dibutuhkan agar terjadi aktivitas komunikasi politik, karena adanya interaksi antar sesama unsur masukan tersebut.
Kalau kita pikirkan kembali definisi komunikasi politik, maka dapat disimpulkan beberapa input yang harus ada, yaitu: (I) Manusia yang hidup; (2) Sarana komunikasi (isyarat, bahasa verbal, simbol tulisan, medium, teknologi, dsb); (3) Subjkektifitas/kepentingan manusia (keinginan dan atau kebutuhannya); (4) Organisasi sosial (RT, RW, Kelurahan, organisasi politik, organisasi massa, dsb); (5) Situasi/keadaan kehidupan sosial-ekonomi-budaya-politik-keamanan• pertahanan-ideologi.
Kelima unsur di atas akan berpadu untuk saling berinteraksi dalam wujud suatu proses sistem yang disebut proses komunikasi politik. Proses komunikasi politik harus dibedakan dengan komunikasi dagang, atau ibadah, atau pendidikan, atau hukum, dan lainnya, karena fokusnya khusus pada aspek politik.
Proses Sistem Komunikasi Politik
Manusia yang hidup memikirkan kepentingan dirinya, Ialu diaktualisasikan dalam bentuk perilaku verbal ke sekitar dirinya, menggunakan sarana komunikasi lainnya. Maka, muncul reaksi balik dari manusia lainnya. Demikian seterusnya, interaksi ini seolah-olah garis-garis yang saling terhubungkan, dan arahnya ke mana-mana, membentuk jaringan yang rumit dan cenderung tidak terkendali oleh suatu pusat pengendalian. Artinya, proses ini berlangsung secara “alamiah” dan apa adanya.
Output Sistem
Hasil proses rumit di atas tergantung pada subjektivitas masing-masing manusia yang terlibat dalamnya. Setiap orang punya persepsi yang berbeda, sesuai dengan kepentingannya, apakah proses komunikasi yang dia jalani berhasil atau gagal, atau berhasil sebagian dan gagal sebagian, dan seterusnya. Bahkan, ada juga yang tidak peduli dengan kegagalan atau keberhasilan, karena tidak punya kepentingan politik. Tipe semacamini, dalam proses politik, hanya berperan sebagai obyek penerima pesan tanpa reaksi apa pun. Sebagai obyek politik ia masuk ke dalam proses komunikasi politik meskipun tidak disengaja oleh dirinya sendiri, melainkan disengaja orang lain. Sebab diamnya orang ini bisa ditafsirkan sebagai “tidak ada masalah” terhadap kepentingan sang politisi yang memasukkannya sebagai obyek politik.
Hasil/ keluaran proses komunikasi politikjuga bisa berupa macetnya perubahan politik ke arah yang semakin baik, dengan kata lain, dinamika politik yang ada tidak berubah secara substantif (status quo). Mengingat komunikasi politik memegang peran kunci dalam proses politik, maka kepentingan-kepentingan individual dan atau bersama dari suatu komunitas akan sangat ditentukan oleh proses komunikasi politik ini.
Hasil atau keluaran, entah itu dipersepsi sebagai output individual maupun bersama, semua akan menjadi feedback bagi sistem yang akan mengarah pada penyesuaian-penyesuaian.
Feedback
Umpan balik atau feedback menyiratkan adanya suatu perbandingan antara hasil nyata yang terjadi dengan hasil yang diinginkan/ideal/ subyektif dari para pelaku komunikasi politik. Jika perbandingannya menggembirakan, maka umpan baliknya adalah perlunya peningkatan kualitas dan kuantitas komunikasi. Sebaliknya, jika perbandingan hasilnya kurang menggembirakan, maka umpan baliknya mengindikasikan perlunya perbaikan di sana-sini.
Kontrol
Elemen ini akan menyerap umpan balik dan memutuskan langkah-langkah yang harus diarnbil demi penyesuaian dalam hal kualitas dan/atau kuantitas input komunikasi, sehingga proses yang terjadi berubah sedemikian rupa demi mencapai hasil yang sesuai dengan harapan.
Lingkungan
Lingkungan bagi sistem komunikasi politik adalah berbagai macarn sistem komunikasi selain politik, misalnya sistem komunikasi pendidikan, hukum, agama, dsb. Lingkunganjuga bisa berupa sistem-sistem selain komunikasi, misalnya sistem nilai, sistem budaya, sistem ekonomi, dan sebagainya.
Studi Kasus: Sistem Komunikasi Politik di Kalimantan Selatan
Cukup menarik mencermati sistem komunikasi politik di Kalimantan Selatan. Kita bisa melihat adanya elemen-elemen masukan berupa: pemerintah propinsi, DPRD, kejaksaan, pengadilan, kepolisian, tentara, mahasiswa, LSM, partai politik, pelaku ekonomi swasta, rakyat kebanyakan, media massa, suasana krisis ekonomi dan moral yang masih belum pulih, dalam skala wilayah Kalimantan Selatan yang begitu luas yang mewadahi 36 juta penduduknya.
Bisa dibayangkan, betapa rumitnya proses komunikasi politik di antara semua elemen di atas, yang merniliki kepentingan yang sangat beraneka ragam.
Untuk mengevaluasi bagaimana kerja sistem komunikasi politik, kita bisa meninjaunya dari sisi kepentingan bersama rakyat Kalimantan Selatan. Bisa disimpulkan bahwa keinginan rakyat dalam aspek ini adalah tercapainya suatu pengertian dan kepahaman serta persepsi yang sebaik-baiknya tentang apa saja yang telah, sedang dan akan dikerjakan oleh semua lembaga formal pemerintahan yakni lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam rangka tugas konstitusional mereka menyejahterakan rakyat lahir dan bath in. Dalam kenyataannya, kita harus melakukan sur• vey ke seluruh pelosok Kalimantan Selatan, bukan hanya perkotaannya, untuk menanyakan bagaimana nasib persepsi di atas: Apakah sudah terbentuk atau belum? Apakah terbentuk sepenuhnya, atau masih berupa serpihan-serpihan yang tidak tersambung satu sama lain? Jangan-jangan persepsi ini kadang terbentuk, kadang hilang lagi. Berbagai kemungkinan lainjuga harus dipikirkan. Dari segi kepentingan individual para aktor politik, mungkin saja proses komunikasi politik yang berlangsung sudah sesuai harapan dan keinginan mereka, khususnya manakala rakyat diam saja dan tidak bereaksi apa pun terhadap perilaku dan pernyataan-pernyataan serta kebijakan-kebijakan politik yang dirumuskan di lembaga-lembaga for• mal tersebut. Ketika rakyat tan pa sengaja dan sadar terbiarkan menjadi obyek saja, sehingga diamnya bermakna “tidak ada masalah”, maka, bagi kalangan aktivis, komunikasi politik sudah dianggap berhasil sebagai lawan dari rakyat yang pasifis.
Meskipun angka melek huruf rakyat sudah mencapai 90%, namun belum tentu pesan-pesan tertulis (seperti Perda, SK Gubernur, sikap DPRD, vonis Majelis Hakim atas suatu kasus KKN, dsb) komunikasi politik para elit mampu menjangkau 90% rakyat. Umumnya, pesan-pesan ini hanya berputar-putar di kalangan elit lagi, seperti partai politik, LSM, wartawan, pengamat, dan birokrat. Maka, dapat disimpulkan bahwa terdapat masalah besar dalam proses sistem komunikasi politik di Kalimantan Selatan. Proses ini belum berjalan secara opti• mal, sehingga hasil yang dikehendaki oleh rakyat belum sesuai harapan sampai hari ini, meskipun sistemnya sudah ada sejak 1950, tepatnya ketika Undang-undang Pembentukan Propinsi Kalimantan Selatan berlaku. Sedangkan proses komunikasi politik bagi para elit boleh dikata sudah optimal, karena mereka hanya menganggap kepentingannya saja yang perlu dicapai, bukan kepentingan bersama (kepentingan rakyat).
Dari kacamata elit, tidak ada yang perlu diperbaiki dalam sistem komunikasi politik ini. Sedangkan dari sisi rakyat, harus ada perbaikan. Namun masalahnya adalah siapa yang harus memperbaikinya. Karena rakyat umumnya adalah pasifis dan obyek saja dalam sistem ini, mungkinkah jika rakyat diharapkan berbuat sesuatu? Yang pal• ing mungkin berbuat adalah partai politik. Karena, partai merupakan kumpulan orang yang berasal dari rakyat juga, yang bersifat aktif dalam memperjuangkan kepentingan partainya. Kini, pertanyaan lanjutannya adalah apakah partai• partai itu tidak lupa kepada rakyat yang “melahirkannya”. Siapkah partai berjuang tidak hanya demi kepentingan sempit partainya, namun sekaligus demi keseluruhan rakyat yang melingkupinya? Gejala yang nyata adalah tingginya frekuensi pembicaraan seputar dikotomi partai dengan rakyat. Ini merupakan tanda bahwa partai telah melupakan jatidirinya yang sesungguhnya lahir dari rakyat.
Meskipun media massa gencar menulis berita-berita tentang panasnya perebutan kursi Gubernur Kalimantan Selatan 2003-2008, namun sebagian besar rakyat tetap masih belum bergeming dari pasif menjadi aktif. Apakah medianya yang belum berhasil “menggugah” kesadaran rakyat, apakah rakyatnya sendiri yang salah karena memang tidak mau peduli, apakah para calonnya sebenarnya tidak dikenal oleh rakyat, ataukah para elit parpol yang gaga! berkomunikasi dengan para konstituennya dan rakyat secara umum dalam konteks memahami pentingnya pemilihan gubernur ini? Atau, adakah hat lain yang belum diketahui?
Wallahu a ‘lam bishowab.
Daftar Pustaka Anderson, J.E. et al. 1984. Public Policy and Poli• tics in America. (Second Edition). California: Wadsworth Inc. Muhammad Ryaas Rasyid. 1997. Makna Pemerintahan Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan. Jakarta: PT Yarsif Watampone. Muhaimin, Yahya & C. McAndrews. 1995. Masalah-masalah Pembangunan Politik. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Surat Kabar Republika.
KOMENTAR TERBARU