ARAHBANUA.COM
Oleh: Noorhalis Majid
Ambin Demokrasi |
Kalimat tersebut terkesan kasar, namun itulah yang diucapkan seorang caleg atas pengalamannya yang begitu berharga.
Seminggu sebelum hari pencoblosan, orang-orang di kampungnya merayu agar melakukan money politik sebagaimana dilakukan caleg lainnya.
Diminta memberi uang mulai dari 350 ribu, turun menjadi 250 ribu, hingga menjelang hari pencoblosan dipaksa memberi 50 ribu.Tetap tak bergeming, sebab tahu orang-orang tersebut juga sudah menerima dari caleg lain dengan jumlah jauh lebih besar.
Pikirnya, pastilah nilai 50 ribu yang diminta tidak akan berbuah suara. Kalau pilihannya seperti itu, “baik kalah pada bungul”, kata dia dengan nada jengkel.
Caleg tersebut juga bercerita tentang caleg lainnya yang berani mengeluarkan uang lebih dari satu milyar hanya untuk perebutan kursi DPRD Kabupaten. Hampir semua sudut kota dipasang baleho, dan sudah pula money politik. Tapi setelah hari pencoblosan, suaranya tidak cukup dan tentu tidak terpilih.
Caleg lain sang petahana, karena memiliki tanah, ruko dan berbagai asset, membagi amplop berisi uang hingga 5000 amplop jumlahnya. Pada tiap amplop berisi 200 ribu. Sebulan sebelum hari pencoblosan, amplop dibagikan dengan dalih uang reses. Sehari jelang pencoblosan, hal tersebut diulang kembali, guna memastikan agar pemilih tidak lari. Sehingga jumlah dana yang dikeluarkan mencapai 2 milyar. Setelah hari pencoblosan, tidak semua yang diberi uang memilih, caleg tersebut hanya mendapatkan dua ribuan suara, beruntung masih terpilih.
Begitu masifnya money politik, hingga tidak ada satu pun caleg yang berasal dari kabupaten tersebut yang terpilih mewakili kabupatennya di DPRD Provinsi.
Semua caleg terpilih berasal dari kabupaten tetangga yang tergabung dalam satu dapil. Sebab caleg di kabupaten itu tidak mampu bersaing dalam money politik, dan mungkin lebih memilih kalah dari pada “bungul”. (nm)
KOMENTAR TERBARU