23 Oktober 2024
WhatsApp Image 2023-07-20 at 08.21.42

Reza Nasrullah

Penulis: REZA NASRULLAH
arahbanua.com, Banjarbaru-

Para perintis jalan menuju cita-cita ini perlu mengetahui rambu-rambu perjalanannya yang akan sangat panjang dan meletihkan, yang dapat digambarkan sebagai berikut:

 

 

RAMBU 1: Mulai detik ini di sini : Hakikat perjalanan: # mutu dan sifat-sifat diri yang bagaimana yang harus ditanamkan? # apa sifat dan kualitas masyarakat jahiliiyah yang melingkungi para pejuang pelopor? # bagaimana menyeru manusia jahiliyyah/sekular kepada islam: topik dan masalah apa yang harus didiskusikan? # di mana dan bagaimana mendapat petunjuk atas semua hal di atas?

RAMBU 2: apa tanggung jawab perjalanan/proses ini?

RAMBU 3 : apa sesungguhnya tujuan akhir perjalanan?

RAMBU 4 : posisi dan sikap apa yang harus diambil terhadap masyarakat jahiliyyah/sekular: kapan kerjasama dan atau kapan menolak/tidak berkompromi.

 

Masyarakat Islamiyyah adalah masyarakat yang semua anggotanya secara individual menyerahkan segala pedoman hidup dan cita-citanya kepada ketentuan-ketentuan ALLAH SWT saja. Demikian pula tentang hokum/aturan-aturan yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat tsb. Semuanya berdasarkan pedoman dari ALLAH SWT saja, lewat AL-QUR’AN dan Hadits Rasulullah, Muhammad SAW.

Masyarakat Islamiyyah adalah masyarakat yang dinamis, yang berdiri tegak di atas keadilan. Di dalamnya tidak ada manusia yang memperbudak manusia lain, baik secara samar ataupun terang. Tidak ada beda antara rakyat kampung yang miskin dengan pejabat yang kaya, selain karena takwanya kepada ALLAH SWT. Semua sama di hadapan hukum, karena hukum ini tidak bisa ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan orang-orang tertentu. Di sinilah keadilan hukum ALLAH SWT. Dia tidak berpihak kepada yang kaya, punya kedudukan, terhormat, atau kepada yang miskin dan terbelakang. IA tidak menjatuhkan vonis atas saran, suap, atau permintaan dari pihak manapun.

Sedangkan masyarakat jahiliyyah adalah kebalikan dari masyarakat islamiyyah di atas. Masyarakat jahiliyyah adalah masyarakat yang anggota-anggotanya menyerahkan segala pedoman hidup dan cita-citanya kepada ketentuan-ketentuan pemimpinnya, idolanya, atau nafsunya, atau kepada ALLAH SWT sebagian (seperti kewajiban sholat, puasa, zakat, haji) dan sisanya-seperti pengaturan ekonomi, undang-undang, dan politik-kepada selain ALLAH SWT.

Masyarakat jahiliyyah adalah masyarakat yang penuh dengan penyelewengan, manipulasi dan penunggangan hukum untuk kepentingan yang kuat, sehingga yang lemah tertindas dan terpaksa menuntut keadilan dengan caranya sendiri-sendiri.

Masyarakat jahiliyyah mensahkan perjudian, pelacuran, penghalalan segala cara dan tindakan-tindakan amoral/tidak berakhlak dalam kebijakan-kebijakan politik, ekonomi serta pendidikan.

Maka satu-satunya jalan menuju perbaikan adalah jalan ash-shiroothol-mustaqiim, yakni ISLAM.

Metoda menuju masyarakat islamiyyah ini bukanlah revolusi bersenjata yang penuh darah serta penghalalan segala cara seperti yang dilakukan komunis, atau penyesatan pikiran, cuci otak dan pengesahan segala metoda seperti yang dilakukan yahudi/zionis dan para kapitalis.

Metoda itu adalah DA’WAH. Dan inilah satu-satunya metoda. Ia adalah metoda Islam dalam merealisir misinya yaitu rahmatan lil ‘aalamiin.

Da’wah yang benar memiliki beberapa prinsip sebagai berikut:

1. Da’wah adalah mengajak manusia, dalam hal ini termasuk diri si pengajak, untuk kufur kepada thooghuut yakni segala sesuatu: konsep/pemikiran/manusia/harta, dsb selain ALLAH SWT, dan beriman kepada ALLAH SWT. (lihat QS 2: 256 & 16: 125).

Ini berarti da’wah adalah komunikasi yang selalu bersifat dua arah, yakni mengajak dan mengingatkan penda’wah (da’i) dan mengajak serta mengingatkan obyek da’wah (mad’u) sekaligus pada waktu yang bersamaan. Efek dari dua arah ini adalah bahwa seorang da’i akan selalu mengerem dirinya dari perbuatan dosa karena ia dituntut oleh ALLAH SWT agar selalu menyesuaikan perbuatannya dengan kata-katanya.

Keadaan di atas berlainan dengan orang yang mempersepsi da’wah sebagai menyeru, mengajak dan mengingatkan orang lain saja, dengan mengecualikan diri sang da’i. Atau orang yang melepaskan kewajiban da’wah dari dirinya karena takut tidak dapat menyesuaikan perbuatan dengan perkataan.

Kedua kasus itu mempunyai daya rem yang lebih kecil terhadap godaan melakukan dosa. Sehingga ia akan merasakan dorongan melanggar ketentuan-ketentuan ALLAH SWT (godaan syaithon) lebih kuat daripada keinginan menahan/menolaknya, karena ia punya alasan, “ toh saya tidak mengajak orang lain, dosa ini akan saya tanggung sendiri”.

Dapat kita bayangkan bagaimana akibatnya terhadap keadaan masyarakat bila sebagian besar anggotanya memilih pengertian yang kedua atau melepaskan kewajiban da’wahnya sama sekali (lihat QS 3: 110).

 

 

Loading

redaksi