23 Oktober 2024
WhatsApp Image 2023-07-23 at 23.59.32

Buku Mona Hassan ( foto ist )

Penulis: OVAMIR ANJUM
Editor: Reza Nasrullah
arahbanua.com, Banjarbaru –

Untuk mengetahui seberapa dalam umat Islam merasakan cita-cita kesinambungan dan persatuan dalam khilafah, ada baiknya kita melihat sekilas betapa kehilangan dan keterputusan khilafah dialami bukan hanya pada tingkat politik tetapi juga emosional dan budaya. Cendekia studi Islam, Mona Hassan, dengan lengkap mencatat pengalaman ini setelah Baghdad ditaklukkan para Mongol pada 1258 (656 H), dan kemudian sekitar tujuh abad sesudahnya, pada 1924.

71.Banyak cendekiawan, aktivis, dan gerakan transnasional Islam telah menghidupkan gagasan persatuan umat Islam selama satu abad terakhir. Meski sebagian besar kelompok menganggap khilafah sebagai produk sampingan kegiatan revivalis dan reformis mereka, beberapa gerakan justru menjadikannya sebagai tujuan utama mereka. Bagi kelompok yang paling berdedikasi membangkitkan khilafah, seperti Ḥizb al-Taḥrīr (Partai Pembebasan) dari Palestina-Yordania dan Tanzeem-e-Islami (Organisasi Islam) dari Asia Selatan, (keduanya sekarang menginternasional), khilafah bukan hanya hasil kolaborasi antara masyarakat dan negara Islam yang telah direformasi, tetapi akhir politik dari perjuangan serta instrumen mencapai keadaan yang diinginkan serta menangkal ancaman internal dan eksternal terhadap umat Islam.

72. Selama abad ke-20, para pemimpin politik ambisius dari negara-negara Muslim telah menciptakan hubungan dan lembaga di tingkat internasional guna mewujudkan kolaborasi pan-Islam yang lebih besar. Di era kebijakan pembangunan pasca-Perang Dunia II, politik negara-bangsa sebagian besar mengalahkan upaya serius untuk ini.

73. Dewasa ini, aspirasi seperti itu muncul kembali.

74. Aktor nonnegara, seperti yang disebutkan sebelumnya, lebih berhasil menjaga gagasan ini tetap hidup. Peran paling signifikan dipegang oleh organisasi reformis sosial-keagamaan seperti Ikhwanul Muslimin (di negara-negara berbahasa Arab) dan Jamaat-e Islami (di Asia Selatan), yang sebetulnya menempatkan usaha mengembalikan khilafah hanya sebagai sasaran jangka panjang saja, bukan prioritasnya. Hanya di saat krisis, seperti pendudukan Israel atas Palestina, sentimen pan-Islam menemukan ruangnya.

Di era negaraisme (1940-an–80-an), gerakan Islam memobilisasi massa untuk menguasai berbagai negara. Mereka sering gagal, dan ketika mereka berhasil, seperti di Iran dan Sudan, mereka sering menemukan bahwa logika sekularisasi internal dari model negara-bangsa jauh lebih kuat daripada aspirasi ideologis mereka sendiri dan sering menyerah pada represi, korupsi, serta pertimbangan regional dan geopolitik. Kenegaraan tidak pernah mengakar secara serius di dalam Dunia Islam, dan meski Islamisme menjadi semakin populer secara sosial, ia tidak pernah memenuhi janjinya. Gagasan khilafah, meski merupakan tujuan uji pamungkas, tetap saja menjadi tujuan nomor kesekian, terkalahkan oleh perlunya mewujudkan demokrasi dan kemajuan.

 

 

 

Loading

redaksi