23 Oktober 2024
WhatsApp Image 2023-07-18 at 19.02.23

Ilustrasi Ibnu Taimiyah ( foto ist )

Penulis: OVAMIR ANJUM
Editor: Reza Nasrullah
arahbanua.com, Banjarbaru-

Dalam upayanya memisahkan esensi khilafah dari berbagai perwujudannya, tradisi Sunni pun berteori tentang khilafah secara cermat, menetapkan dasar-dasar kewajiban, fungsi, sifat, dan batasannya, serta menanggapi perubahannya sambil berusaha tetap setia kepada model rasyidin. Upayanya ini kompleks; semua perselisihan yang bisa muncul pun terwujud, dan para ahli hukum-teolog terkemuka terus-menerus memikirkan ulang secara cermat segunung bukti dan justifikasi khilafah. Tidaklah mengherankan apabila teorisasi lembaga khilafah seperti ini pertama kali terjadi di kalangan ulama Sunni pada abad ke-11 (ke-5 H), tepat pada saat keberadaan lembaga ini terancam.
Keharusan adanya khilafah untuk melanjutkan kesatuan dan keberadaan komunitas agama selama dua abad awal Islam membuat pembelaan teoretis yang ekstensif pada waktu itu tidak diperlukan, meskipun kita menemukan salah satu surat yang paling awal diarsipkan dalam Peradaban Islam, yaitu yang disuratkan oleh sekretaris Khilafiah Umayyah ʿAbd al-Ḥamīd al-Kātib (w. 750 M/132 H), isinya berkaitan dengan teori dan pembelaan atas khilafah sebagai lembaga yang diamanatkan Allah untuk melanjutkan misi Rasulullah.

34. Semua mazhab dan sekte Islam yang bertahan sepakat tentang kewajiban menunjuk satu pemimpin bagi segenap Muslim. Kaum Sunni dan Syi’ah menyepakati hal ini tetapi konsepsi mereka berbeda. Kaum Syi’ah Imamiyah memasukkan kepercayaan kepada seorang imam—keturunan terpilih dari keluarga Ali—dalam rukun imannya, sementara kewajiban kepada Tuhan (sebagai luṭf, atau rahmat Ilahi), yang berarti mengetahui dan meyakini satu imam yang benar (bahkan sekalipun ia tidak berkuasa atau tidak ada secara fisik), adalah kewajiban semua manusia.

35. Syi’ah Zaidiyah percaya kepada hak memerintah keturunan keluarga Ali, tetapi orang itu mestilah sosok yang layak, yang kemampuannya dinilai berdasarkan keberhasilannya melawan pemerintahan yang zalim. Sebaliknya, kaum Sunni menganggap pendirian khilafah sebagai kewajiban kolektif. Perbedaannya tipis: bagi Syi’ah, ketidakpercayaan kepada imam yang benar itu adalah sesat dan bahkan dapat membatalkan iman seseorang; bagi Sunni, kegagalan dalam mendudukkan imam yang sah itu adalah dosa. Kaum Ibadiyah (sekte moderat dan satu-satunya dari Khawarij yang bertahan) percaya kepada kewajiban seorang imam/khalifah yang adil, tetapi—berbeda dari Syiah dan kebanyakan Sunni, dan kebanyakan Sunni pasca-Utsmaniyah—mereka tidak mensyaratkan calonnya harus berasal dari kelompok Quraisy atau garis keturunan tertentu.

36. Ada berbagai pendapat kemungkinan terwujudnya kehidupan Islami tanpa khalifah. Ulama seperti al-Ghazali bahkan menolak legitimasi kehidupan Islami dalam kondisi ini. Ulama lain, seperti gurunya yang sekaligus merupakan teolog Asy’ariyah dan ahli hukum Syafi’i utama pada masanya, Abū al-Maʿālī al-Juwayni, membahas kondisi ini dalam risalahnya yang brilian dan imajinatif, Ghiyāth al-umam fī-l-tiyāth al-ẓulam.

37. Dia menulis tentang masa depan distopis, ketika umat Islam mungkin tidak memiliki khalifah yang layak, atau tidak memiliki khalifah sama sekali, sehingga para ulama lah yang harus memimpin masyarakat, atau bahkan tidak ada ulama yang layak dan instruksi bagi umat Islam untuk menghadapi kondisi-kondisi ini. Lantaran tidak puas mengutip sejumlah ayat tidak langsung dan hadits tunggal (āḥād), dia pun menegaskan bahwa karena kewajiban definitif khilafah membutuhkan bukti mutlak maka ia harus ditetapkan atas dasar konsensus para sahabat, otoritas tertinggi bagi kewajiban agama.

38. Menurutnya banyak orang berakal tidak bisa menyepakati jawaban rasional yang berbeda-beda tanpa alasan, dan alasan ini, dalam kasus para sahabat, pastilah pemahaman bersama tentang ajaran Al-Qur’an dan dan Rasulullah saw. Oleh karenanya, konsensusnya bukanlah suatu kebetulan atau lahir dari kebutuhan belaka. Sebagaimana ditunjukkan oleh keberatan awal kelompok Anṣār dalam pertemuan mereka di Serambi Banū Sāʿida, yang akhirnya berujung pada persetujuan setelah musyawarah karena Abu Bakar dan Umar melihat dengan jelas, dan semua orang kemudian setuju, bahwa kebutuhan akan Khilafah tercipta dari kewajiban Islam yang tak terbantahkan.
Pada periode pasca-Mongol (abad ke-13 M/ke-7 H), kecenderungan pragmatis untuk membenarkan perebutan kekuasaan oleh orang kuat dalam kondisi mendesak memunculkan pembenaran atas perebutan kekuasaan oleh siapa pun yang dapat melindungi seluruh umat Islam atau sebagiannya. Para penulis paling orisinal dalam periode ini, termasuk Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah, menegaskan kewajiban khilafah tetapi juga membuka jalan baru dalam pemikiran politik. Ibnu Khaldun berteori tentang basis sosial, material, dan psikologis kekuatan politik, sehingga melahirkan teori sejarah dan politik beberapa abad sebelum pemikiran seperti ini menjadi umum pada periode modern. Ibnu Taimiyah, tanpa mempertanyakan kewajiban khilafah, mengakui ketidakefektifan khilafah pada periode pasca-Mongol dan berusaha memulihkan semangat komunal dan model politik di mana menegakkan syariah menjadi dimensi sentral dari legitimasi penguasa. Sebelum Baghdad dihancurleburkan oleh Mongol, khilafah dipandang telah menciptakan dunia yang di dalamnya syariah dapat diwujudkan dan dikembangkan. Fakta ini, ditambah klaim kontinuitas khilafah hingga ke Nabi saw., lebih diutamakan daripada justifikasi dari Al-Qur’an: khilafah dianggap lebih besar daripada syariah. Para ulama, seperti al-Mawardi dan al-Ghazali, memberikan bukti tentang khilafah hanya ketika mereka merasa bahwa khilafah tengah terancam. Di dunia pasca-Mongol, adalah syariah yang memberikan dorongan untuk menciptakan pemerintahan Islam di mana-mana sampai khilafah yang sesungguhnya dapat dipulihkan. Ibnu Taimiyah memberikan argumen pertama untuk politik Islam seperti ini; kemudian ulama dari semua mazhab—dan terutama dalam pemikiran politik Utsmaniyah—mengakui kewajaran perkembangan “politik Syariah” ini.

39. Untuk memberikan substansi dan bentuk pada klaim-klaim yang baru saja dikemukakan, marilah kita perhatikan contoh jenis klaim dan justifikasi khilafah yang diberikan oleh para ulama dari berbagai mazhab. Cendekiawan ensiklopedis Ẓāhirī Ibnu Ḥazm (w. 1064 M/456 H), yang hidup di Spanyol, di luar wilayah tradisional Khilafah Abbasiyah, menulis:
Semua Ahlus-Sunnah, semua Murji’a, semua Syi’ah, dan semua Khawarij sepakat dengan bulat tentang kewajiban Imamah dan kewajiban umat Islam mematuhi Imam nan adil yang mengelola urusan mereka dengan hukum-hukum dari Allah dan Rasul-Nya. Satu-satunya pengecualian adalah para Najadāt dari Khawarij, yang mengatakan suatu masyarakat tidak berkewajiban memiliki seorang imam; masyarakat itu sendirilah yang bertanggung jawab memenuhi hak para anggotanya.

40. Ibn Ḥazm merujuk kepada segelintir kaum radikal selama Perang Saudara Kedua (680–692 M/60-70-an H), ketika para Khawarij dan sejumlah Muʿtazilah bahkan sampai mempertanyakan kewajiban khilafah pada hari-hari perpecahan awal yang keras. Tetapi pada waktu itu, bahkan doktrin dasar seperti otoritas hadis, validitas analogi rasional, kebenaran dua khalifah rasyidin terakhir, dan bahkan kesucian nyawa seorang Muslim pun mereka pertanyakan. Seorang “pemikir bebas” dari golongan mereka berpendapat hampir secara kontra-faktual: jika semua orang beriman secara sukarela hidup menurut hukum Ilahi maka pemerintahan tidak diperlukan. Senyatanyalah bahwa dia tidak menyarankan pemerintahan sekuler sebagai alternatif, melainkan menyangkal kebutuhan tatanan politik sama sekali. Seorang “pemikir bebas” lainnya berargumen, hampir secara hiperfaktual, bahwa situasi tanpa imam hanya berlaku pada masa perang saudara, ketika imam mana pun tidak perlu dipatuhi.

41. Namun, secara keseluruhan, kebutuhan akan seorang khalifah dengan mudah dan bulatnya disepakati dibandingkan dengan banyak doktrin lain yang sekarang dianggap mendasar.
Dalam al-ʿAqāʾid al-Nasafiyya, karya dari ahli terkemuka bermazhab Hanafi-Maturidi, Abū Ḥafṣ al-Nasafī (w. 1142 M/537H), disebutkan: “Umat Islam harus memiliki seorang imam untuk menegakkan aturan mereka, menetapkan ḥudūd, dan mempertahankan perbatasan ….” Polimat dan teolog Persia bernama Asy’ariyah al-Taftāzānī (w. 1390 M/792 H) mengomentari:
Konsensusnya, mengangkat seorang imam itu wajib. Perselisihannya adalah pada seputar apakah wajib bagi Allah atau makhluk-Nya, berdasarkan bukti wahyu ataukah rasional. Dan mazhab [kami] menyatakan itu adalah wajib bagi makhluk-Nya berdasarkan wahyu, seperti sabda Nabi saw., “Barangsiapa meninggal tanpa mengenal imam, dia meninggal dalam kejahilan pra-Islam,”

42. Yang menjadi alasan umat Islam mengutamakan pengangkatan imam daripada penguburannya (yaitu, Nabi saw.), sebagaimana yang harus dilakukan setelah kematian setiap imam, karena banyak kewajiban Syariah bergantung padanya.

43. Mengomentari situasi di zamannya ketika wilayah sentral Islam (Suriah, dan Mesir) berada di bawah kuasa bangsa Mamluk dan wilayah timurnya (Persia dan Transoxiana) telah dihancurkan Timurleng, Taftāzānī menjelaskan mengapa harus ada hanya satu imam untuk semua wilayah:
Jika ditanyakan: mengapa tidak cukup mengangkat seorang penguasa di setiap daerah, atau mengapa wajib mengangkat seseorang yang memiliki otoritas umum (al-riyāsa al-ʿāmma)?” kami jawab: “karena ia akan menyebabkan konflik dan permusuhan, yang akan mengarah pada kerusakan urusan agama dan dunia, seperti yang kita saksikan di zaman kita sendiri”.

44. Dia kemudian bertanya, dengan gaya dialektis yang khas, mengapa penakluk seperti bangsa Turki di zamannya (kemungkinan besar dia merujuk kepada Timurleng) tidaklah cukup dan mengapa, oleh karenanya, wajib ada seorang imam. Dia menjawab penakluk semua wilayah Muslim seperti itu memenuhi sejumlah fungsi, tetapi “masalah agama, yang paling penting dan pilar utama dari segalanya, akan rusak tanpa imam.”

45. Menulis di zaman yang sama di bagian barat Dunia Islam, sejarawan besar dan ahli hukum bermazhab Mālikī, Ibnu Khaldun (w. 1406 M/808 H), meringkas konsensus yang ada sebagai berikut:
Mengangkat seorang pemimpin itu wajib. Sifat wajibnya diketahui dari hukum yang diwahyukan melalui konsensus para Sahabat dan generasi Tabiin. Itulah mengapa para sahabat, setelah kewafatannya Nabi saw., segera bersumpah setia dan menyerahkan pengelolaan urusan mereka kepada Abu Bakar r.a. Demikian juga di setiap zaman sesudahnya, sehingga masalah ini ditetapkan sebagai konsensus yang menunjukkan kewajiban mengangkat seorang pemimpin.

46. Ibnu Khaldun kemudian melanjutkan, sesuai komitmen Asy’ariyahnya, bahwa kewajiban mendirikan khilafah (seperti semua kewajiban lainnya) berasal dari hukum yang diwahyukan, bukan akal, sehingga tidak dapat ditangguhkan oleh penilaian rasional. Ibnu Khaldun sangat menjunjung tinggi khilafah; dia menulis mahakaryanya dalam rangka menjelaskan sejarah khilafah dan menganjurkan kebangkitannya. Seorang cendekiawan Barat pengkaji peradaban Islam, Hamilton Gibb, berpendapat bahwa khilafah menempati posisi sentral dalam karya Ibnu Khaldun. Ini dapat disimpulkan dari cara bab-babnya disusun secara logis untuk berujung pada khilafah, yang di dalamnya dia membahas organisasi terkait secara terperinci sebelum menganalisis penyebab kemerosotan hingga kehancuran khilafah itu. Itu secara terang benderang mengesankan bahwa dia, selain menganalisis evolusi kekuatan politik dan solidaritas kelompok, juga—seperti halnya ahli hukum Islam lain pada masanya—menaruh perhatian kepada masalah pendamaian tuntutan ideal syariah dengan fakta-fakta sejarah.

47. Ulama lain, termasuk dari kelompok Muʿtazilah, Syi’ah, dan tradisionalis seperti Ibnu Taimiyah, berpendapat bahwa kewajiban khilafah, seperti semua kewajiban lainnya, diketahui sekaligus dari wahyu dan akal.

48. Para ulama memberikan berbagai alasan, atau fungsi-fungsi rasional, yang mewajibkan keberadaan pemerintah. Bagi sebagian ulama, fungsi-fungsi ini adalah penyebab kewajiban; sementara bagi ulama lain fungsi-fungsi ini adalah manfaat dari kewajiban, namun kewajiban itu sendiri tidak bergantung kepada manfaat apa pun. Bagi mereka yang menekankan keharusan ritual mutlak khilafah demi keabsahan kehidupan Islami, seperti al-Mawardi dan, terlebih lagi, al-Ghazali, mengangkat khalifah adalah wajib hukumnya, sekalipun jika khalifah itu sudah tak lagi memiliki kekuasaan efektif (shawka, munna) sehingga harus bergantung kepada orang lain (misalnya, sultan) untuk menegakkan fungsi-fungsi dasarnya. Bagi ulama lain, seperti al-Juwayni dan Ibnu Taimiyah, kekuasaan yang efektif dalam menegakkan ḥudūd, memelihara hukum dan ketertiban, serta melindungi masyarakat dan agama, merupakan unsur penting dari definisi khalifah.
Para ulama terus mereproduksi alur pemikiran ini sampai hari ini. Seorang ahli hukum asal Damaskus dari abad ke-17 (ke-11 H) mencatat dalam ringkasan otoritatifnya tentang yurisprudensi Hanafi:
Keimaman besar (khilāfa) adalah hak umum atas pengelolaan urusan umat. Pengkajiannya ada dalam ranah kalam (yaitu, teologi) dan pendiriannya adalah kewajiban yang paling penting. Oleh karena itu, mereka (para sahabat) memprioritaskannya di atas penguburan Sang Pemilik Mukjizat (baca: Rasulullah) saw.

49. Mengapa khilafah menjadi begitu penting bagi akidah Islam? Alasan terpenting adalah karena ia merupakan masalah utama Islam—seperti halnya Trinitas bagi Kekristenan. Penjabaran tentang siapa pemimpin umat yang sah sangatlah penting untuk mendefinisikan iman sejak sekte-sekte sempalan awal mempertanyakan kejujuran dan kesesuaian komunitas arus utama sebagai pembawa dan perwujudan pesan Allah. Oleh karenanya, menjustifikasi kejujuran komunitas yang melestarikan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. merupakan “ruang masalah” sentral yang di dalamnya lah banyak pemikiran Islam terbentuk selama dua abad pertama peradaban Islam.

50. Contoh pertama keputusan bulat para sahabat untuk mendeklarasikan kesatuan politik umat Islam sebagai perhatian utama, yang tercermin dalam pemilihan Abu Bakar, benar-benar terkonsolidasikan dalam konsensus mereka untuk berperang melawan orang-orang yang telah memisahkan diri dari otoritas Madinah. Tidak hanya berpendapat abstrak, mereka mengangkat senjata terkait hal ini. Mereka mengikuti tindakan Nabi sendiri terhadap orang-orang yang meninggalkan umat Islam atau mencoba memecah-belahnya.

51. Konsensus awal para sahabat ini ditegaskan berulang kali. Penegasan konsensus berikutnya dapat disaksikan ketika Ali (yang berbasis di Irak) berperang melawan Muʿawiyah (berbasis di Suriah) di Ṣiffīn; Ali tidak pernah menerima gagasan yang hendak membagi umat Islam menjadi dua guna mencegah pertumpahan darah. Demikian pula ceritanya, ʿAbdullāh bin al-Zubayr di Makkah juga tak membagi umat Islam demi perdamaian saat dia mesti menghadapi Bani Umayyah di Suriah. Ketika Ibnu ‘Umar dan otoritas terkemuka lainnya menolak berjanji setia kepada Ibnu al-Zubair, mereka melakukannya persis karena alasan ini: umat Islam belum bersatu di bawahnya.

52. Pandangan ulama klasik Sunni tentang fungsi khalifah terwakili dalam pernyataan yang dialamatkan kepada Imam Ali. Ketika golongan radikal dalam pasukannya menggugat haknya sebagai pemimpin menerima arbitrase pemberontak Suriah, dia menanggapi dengan menekankan perlunya seorang pemimpin untuk mengatur urusan umat:
Ali berkata, “Setiap umat harus memiliki pemimpin (imāra), baik saleh atau tidak.” Mereka bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, kami paham jika pemimpin itu adalah orang saleh, tetapi bagaimana jika dia adalah orang fasik?” Dia menjawab, “Dengan pemimpin maka [hukum] ḥudūd ditetapkan, jalan-jalan umum dilindungi, jihād dilakukan melawan musuh, dan rampasan perang dibagi.

53. Jika pemerintahan secara umum merupakan kebutuhan rasional, maka khilafah dipandang sebagai bentuk pemerintahan Islam yang benar. Analoginya seperti pernikahan, penjodohan pria dan wanita untuk kebersamaan dan reproduksi: semua budaya manusia memutuskan bentuk lembaga ini, menciptakan batasan, upacara, ritual, dan doanya. Pernikahan Islam pada intinya tidaklah berbeda secara fungsi dasarnya, tetapi banyak bentuk kohabitasi yang lazim dalam tradisi lain dilarang dalam Islam, maka ditambahkanlah batasan, ritual, dan norma hukum tertentu sehingga menjadikannya selaras dengan Islam. Dus, Ibnu Taimiyah menjelaskan dalam al-Siyāsa al-sharʿiyya:
Harus diketahui bahwa otoritas pemerintahan (wilāya) atas urusan rakyat adalah salah satu kewajiban terbesar agama, dan, pada kenyataannya, agama tidak dapat didirikan tanpanya, karena kesejahteraan Bani Adam tidak dapat dijamin kecuali mereka bersama memenuhi kebutuhan satu sama lain. . . Inilah sebabnya mengapa semua hal yang diwajibkan [Allah], seperti jihād, keadilan, ibadah haji, salat Jumat, hari raya Idul Fitri, membantu orang terzalimi, dan ḥudūd hanya dapat ditegakkan dengan kekuasaan dan otoritas.

54. Yang membedakan khilafah dari pemerintahan lainnya, pertama dan terutama, secara formal, adalah prinsip-prinsip dasarnya (sumber, batas, tujuan, dan fungsinya).
Karya klasik nan definitif perihal khilafah ditulis oleh al-Mawardi, hakim kepala Baghdad sekaligus ulama Syafi’i terkemuka pada masanya. Ia memberikan deskripsi standar khalifah, yaitu, khalifah adalah “penerus Nabi yang melindungi agama serta mengelola dan mengatur urusan duniawi masyarakat dengan agama.”

55. Hampir semua definisi menyebutkan unsur-unsur ini, yaitu seorang khalifah:
1. menggantikan Rasulullah, tetapi bukan nabi dan tidak pula maksum sifatnya, serta mendapatkan kesetiaan seluruh umat Islam, dan
2. mengatur urusan agama dan duniawi umat Rasulullah, yang secara efektif berarti melindungi agama, mempertahankan perbatasan, menegakkan hukum dan ketertiban, dan mendistribusikan sumber daya.

Dengan kata lain, seorang khalifah didefinisikan sebagai pemimpin semua pengikut Nabi Muhammad saw., bukan terutamanya penguasa suatu wilayah, negara, sekte, atau kelompok Muslim—meskipun dia mau tidak mau memerintah dan melindungi wilayah umat Islam.

56.Khilafah bukanlah kerajaan
Sejak awal, umat Islam membedakan antara pemerintahan Islam yang benar, yang mereka sebut khilāfa, dan otoritas politik pada umumnya, yang mereka sebut mulk. Perlu dicatat bahwa kata mulk memiliki konotasi ganda dalam bahasa Arab: ia dapat merujuk pada otoritas politik apa pun, seperti khilafah. Ia juga dapat berfungsi sebagai kata sindiran bagi kerajaan buruk yang penguasanya memperlakukan rakyat dan kekayaannya sebagai khazanah pribadinya. Seperti disebutkan sebelumnya, umat Islam awal menghindari penggunaan istilah malik (raja) bagi penguasa mereka karena membenci ketidaksetaraan yang tersirat dalam istilah ini.

57. Sebuah hadis yang menggambarkan hal ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, sedangkan sahabat Nabi yang bernama Jarir bin Abdallah menyatakan bahwa seorang bijak dari Yaman mengatakan kepadanya,
Kalian orang-orang Arab akan bernasib baik jika bermusyawarah menggantikan pemimpin yang meninggal, karena jalan pedang hanya akan menghasilkan raja (mulk), di mana kemarahan dan kesenangan mereka seperti kemarahan dan kesenangan raja.

58. Pembedaan ini tetap berlaku sepanjang periode abad pertengahan. Seorang ulama bermazhab Mālikī, al-Maqarrī al-Tilimsānī, menjawab dengan tegas ketika sejumlah sufi (fuqarāʾ) bertanya tentang kemalangan umat Islam terkait raja-raja (mulūk) mereka yang sering bertindak tanpa keadilan dan kesalehan. Dia menjawab,
Kedudukan raja (mulk) tidak ada dalam Hukum (shar’) kita; tetapi ada dalam hukum orang-orang sebelum kita, sebagaimana disebut Allah terkait nikmat-Nya kepada orang Israel. . . . Dia [Allah] hanya menghalalkan khilāfa bagi kita.

59. Al-Maqarrī kemudian mengidentifikasi bahwa perbedaan utama antara keduanya (khalifah dan raja) adalah pandangannya akan otoritas sebagai milik pribadi seseorang yang dapat diteruskan kepada para putranya secara turun-temurun (dinasti). Jadi, yang membuat khilafah berbeda dari kerajaan adalah bahwa dahulu kepentingan umat berada dalam posisi sentral dan otoritas dijalankan sebagai amanah.
Ibnu Taimiyah membentangkan secara lebih eksplisit lagi. Kewajiban khilafah tidak terpenuhi oleh kerajaan, sekalipun jika hanya ada satu raja umat Islam yang adil. Kewajiban hanya terpenuhi dengan mengangkat seorang khalifah, penguasa yang memerintah dengan amanah, tidak sewenang-wenang, mengikuti pemerintahan Nabi saw. dan para khalifah awal.
Timbul pertanyaan apakah kerajaan (mulk) itu sah dan khilafah kenabian hanya pilihan yang lebih disukai atau apakah ia haram dan hanya dapat dibenarkan karena ketiadaan pengetahuan [tentang kewajibannya] atau kemampuan mendirikan khilafah.
Dalam pandangan kami, kerajaan pada dasarnya tidak sah, dan kewajibannya adalah mendirikan khilafah kenabian. Nabi saw. bersabda, “Kamu harus mengikuti amalanku dan amalan para khalifah yang terbimbing benar setelah aku; berpegang teguhlah padanya. Jauhi bid’ah (tanpa justifikasi) dan ingatlah bahwa setiap bid’ah (seperti itu) adalah sesat” … Oleh karenanya, hadis ini adalah perintah; hadis ini mendorong kita mengikuti praktik Khilafah [Nabi], memerintahkan kita mematuhinya, dan memperingatkan kita agar tidak menyimpang darinya. Perintah ini berasal dari Nabi saw. yang menjadikan pendirian khilafah sebagai kewajiban … Sekali lagi, fakta bahwa Nabi saw. menyatakan ketidaksukaannya terhadap kerajaan, yang muncul seusai khilafah kenabian, membuktikan bahwa kerajaan tidak wajib dalam agama. … Mereka yang membenarkan monarki berdalil dengan sabda Nabi kepada Muʿawiyah, “Jika Anda mendapatkan jabatan raja, jadilah baik dan penyayang.”

60. Tetapi argumen (yang meyakinkan) tidak ada di sini … Pendirian khilafah adalah kewajiban, dan pengecualian darinya hanya diperbolehkan atas dasar kebutuhan.

 

 

 

Loading

redaksi