23 Oktober 2024
WhatsApp Image 2023-07-10 at 08.50.04

Ilustrasi Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Penulis: OVAMIR ANJUM
Editor: Reza Nasrullah
arahbanua.com, BANJARBARU-
Kata “khilafah” adalah versi bahasa Indonesia dari kata bahasa Arab khilāfa. Akar triliteralnya (khaʾ-lām-fāʾ) berkonotasi gagasan ‘menjadi atau datang setelah atau di belakang seseorang dari segi urutan, waktu, atau ruang.’ Dus, seorang khalifah (khalīfa) berarti ‘penerus’, ‘seseorang yang ditinggalkan pendahulunya untuk memenuhi tanggung jawab tertentu’. Al-Qur’an menyebut Adam, dus termasuk pula keturunannya sebagai “khalifah” (al-Baqarah ayat 30)—yang secara alami diartikan oleh para penafsir paling awal sebagai ‘penerus ciptaan sebelumnya yang pernah mendominasi bumi.’ Tetapi, menurut doa terkenal Nabi Muhammad saw. (sebagaimana termaktub dalam Sahih Muslim), Allah juga merupakan Khalifah bagi seorang musafir yang meninggalkan rumah dan keluarganya dalam perlindungan-Nya.

27. Penggunaan ini menunjukkan bahwa terjemahan modern khalifah sebagai ‘wakil’ tidaklah tepat, seperti gagasan dari abad ke-20 bahwa manusia adalah ‘wakil Allah’ secara metafisika. Referensi lain dalam Al-Qur’an menyebut Nabi Daud a.s. sebagai “khalifah wilayah,” hanyalah berarti “pewaris wilayah,” yang telah dikaitkan dengan otoritas politik dan kepengurusan bumi secara metafisika. Makna ini secara konseptual dapat dibenarkan melalui gagasan taskhīr dan takrīm dalam Al-Qur’an (bahwa Allah memuliakan manusia dan menundukkan semua ciptaan bagi mereka, surah al-Isra’ ayat 70, Ibrahim ayat 32–33, dst.), tetapi secara linguistik, ia tidak berhubungan dengan istilah khalifah. Ini bukanlah sekadar tetek-bengek linguistik, sebab telah muncul banyak genre sastra—baik yang dihasilkan oleh penulis Muslim maupun Orientalis—akibat kesalahpahaman ini.

28.Dalam kasus-kasus tertentu, kesalahpahaman ini digunakan untuk mengaitkan Al-Qur’an dengan gagasan modern tentang kedaulatan rakyat dalam negara-bangsa.

29.Pun demikian, apa yang menarik bagi kita adalah penggunaan historis istilah ini untuk menyebut penguasa politik tertinggi umat Islam. Dalam pengertian ini, khilafah berarti ‘perwakilan’ (niyāba) Nabi Muhammad saw. dalam kepemimpinan dan pengelolaan komunitasnya setelah kewafatannya. Pemimpin politik tertinggi umat Islam ini juga disebut imam (pemimpin) oleh para teolog baik Sunni maupun Syi’ah—meskipun Syi’ah menggunakan istilah imam untuk menyebut pemimpin mereka yang sah secara teologis, dan belum tentu politik. Sebelumnya, karena istilah khalifah tidak memiliki makna politik yang jelas dan hanya menggambarkan peran Abu Bakar sebagai penerus Nabi, maka amīr al-muʾminīn (pemimpin kaum mukmin) pun menjadi istilah umum yang lebih eksplisit untuk menyebut penguasa sejak masa pemerintahan Khalifah Kedua, ‘Umar. Seiring berjalannya waktu, ketika ranah politik menjadi penuh sesak dengan berbagai jenis pemimpin seperti amīr (panglima militer), sulṭān (penguasa, raja) dan malik (raja), secara historis dan politis istilah khalifah pun merujuk kepada pemimpin tunggal dan tertinggi bagi seluruh umat Islam.

 

 

 

Loading

redaksi