16 Februari 2025
H J FAISAL

ARAHBANUA.COM

 

 

Oleh: H. J. FAISAL *

 

Ketika kita sebagai umat muslim memperingati peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah salallahu‘alaihi wassalam pada tanggal 27 Rajab Hijriyah setiap tahunnya, maka kita akan selalu diingatkan tentang bagaimana sebuah peristiwa yang sangat agung yang pernah terjadi di dalam ketauhidan umat Islam pada waktu tersebut.

Dan di setiap peringatan hari Isra Mi’raj tersebut, pastinya para guru, ustadz dan ulama kita selalu menceritakan kembali, bagaimana sejatinya Allah Ta’alla ingin memberikan sebuah pembelajaran dan penghiburan kepada Rasulullah salallahu‘alaihi wassalam atas wafatnya paman beliau sekaligus pelindung beliau dalam berdakwah, yaitu Abu Thalib, juga atas wafatnya istri tercinta beliau, Khadijah al Kubra, di tahun ke-10 kenabian Rasulullah salallahu‘alaihi wassalam.

Peristiwa Isra Mi’raj yang terjadi pada tanggal 27 Rajab di tahun 621 Masehi tersebut, sesungguhnya juga merupakan sebuah pembuktian bahwa Rasulullah salallahu‘alaihi wassalam memang telah mengikuti jalur para nabi-nabi pilihan Allah Ta’alla yang terdahulu. Dan di dalam peristiwa yang agung itu juga, perintah shalat wajib 5 waktu diterima langsung oleh Rasulullah salallahu‘alaihi wassalam dari Allah Ta’alla.

Namun sebenarnya ada satu pelajaran penting yang dapat ditarik maknanya secara mendalam, selain dari fakta-fakta sejarah dari peristiwa Isra Mi’raj yang sering dikisahkan oleh para ustadz dan guru kita setiap tahunnya tersebut. Dan fakta ini mungkin hampir tidak pernah kita dengar dari pengkisahan tersebut.

Begini, apakah kita semua pernah berpikir dan merenungi, mengapa Allah Ta’alla mengangkat Rasulullah salallahu‘alaihi wassalam ke syurga-Nya, melalui ‘starter point’ atau pijakan yang ada di Al Shakra, di dalam kubah batu (Dome of The Rock) yang berada di dalam kompleks masjid Al Aqsha, Jerusalem Palestina?

Mengapa Allah Ta’alla tidak langsung saja ‘mengangkat’ Rasulullah salallahu‘alaihi wassalam dari Ka’bah yang berada di Mekah? Atau dari tempat suci lain yang memang dapat dipilihkan oleh Allah Ta’alla dengan mudah? Mengapa harus dari Jerussalem Palestina?

Inilah pelajaran politik yang sangat luar biasa yang sesungguhnya telah ditunjukkan oleh Allah Ta’alla dengan gamblang dan jelas, namun jarang sekali atau bahkan tidak pernah menjadi bahan perenungan kita sebagai umat muslim.

Sesungguhnya, ada beberapa hikmah yang sangat penting, yang dapat menjadi perenungan kita bersama.

Pertama, peristiwa naiknya Rasulullah salallahu‘alaihi wassalam ke Sidratul Muntaha melalui masjidil Aqsha di Jerusalem Palestina, adalah bukti, bahwa selain karena Al Aqsha yang berada di Jerusalem menjadi kiblat umat Islam yang pertama pada waktu itu, sesungguhnya Allah Ta’alla juga ingin menunjukkan kepada bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa non Islam lainnya yang berada di Jerusalem dan di seluruh dunia, bahwa Islam adalah sebuah agama yang suci, agama yang tidak berasal dari pemikiran manusia dan budaya.

Islam adalah agama yang besar, yang langsung berasal dari Allah Ta’alla, Tuhan yang maha segalanya, dan Rasulullah salallahu‘alaihi wassalam juga bukanlah manusia biasa, seperti yang selama ini selalu ‘diframing’ oleh bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa kafir lainnya tersebut.

Artinya, peristiwa Isra dan Mi’raj-nya Rasulullah salallahu‘alaihi wassalam, adalah merupakan sebuah peristiwa yang memang tidak masuk di akal manusia, namun jika Allah Ta’alla ingin berkehendak kepada hamba-Nya, maka apapun dapat terlaksana dan bukanlah menjadi sesuatu hal yang mustahil bagi Allah Ta’alla.

Kedua, sesungguhnya Allah Ta’alla juga ingin menegaskan pentingnya dua masjid utama dalam Islam, yaitu Masjidil Haram dan Masjid Al-Aqsa. Ini menghubungkan secara simbolis antara kedua tempat yang sangat suci tersebut.

Hikmah ketiga, adalah untuk menguatkan hubungan dengan umat sebelumnya. Ini artinya bahwa perjalanan Rasulullah salallahu‘alaihi wassalam ke Jerusalem juga menghubungkan Islam dengan nabi-nabi dan umat-umat sebelumnya, karena Jerusalem adalah tempat yang memiliki sejarah panjang dengan nabi-nabi dari umat Bani Israel terdahulu.

Dari ketiga hikmah utama tersebut, maka dapat kita tarik sebuah kesimpulan pemikiran, bahwa dari peristiwa Isra dan Mi’raj Rasulullah salallahu‘alaihi wassalam tersebut, sesungguhnya Allah Ta’alla ingin memberi pelajaran kepada hamba-Nya, bahwa sebagai umat muslim yang besar, seharusnya kita jangan pernah takut dengan kekuatan manapun, yang ingin menjatuhkan Islam, termasuk dengan kekuatan yang dimiliki oleh bangsa Yahudi sekalipun.

Sesungguhnya Allah Ta’alla juga telah menunjukkan langsung kepada bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa lainnya yang berada di Jerussalem, bahwa sesungguhnya Jerusalem Palestina adalah milik umat muslim, karena Allah Ta’alla telah memilihkan tempat tersebut sebagai tempat titik awal terjadinya sebuah peristiwa Isra Mi’raj yang sangat agung, dimana pemimpin umat muslim yang utama, yaitu Rasulullah salallahu‘alaihi wassalam yang dipilih langsung oleh Allah Ta’alla untuk menjalankannya, dan menjadi aktor utamanya.

Namun dikarenakan tidak tumbuhnya kesadaran umat muslim selama ini tentang petunjuk politik yang telah ditunjukkan oleh Allah Ta’alla tersebut, maka tidak tumbuh pula kebanggaan dan kesadaran umat muslim dunia untuk bersatu dalam mempertahankan Jerusalem Palestina.

Pembantaian umat manusia (genosida) penduduk Palestina, yang dilakukan oleh bangsa Yahudi ‘Israel’ sejak tahun 1948 di bumi Palestina sampai dengan tahun 2025 ini, dan diamnya umat Islam dalam menyaksikan hal ini, merupakan bukti nyata bahwa betapa rapuhnya persatuan umat Islam di dunia saat ini.

Bahkan mayoritas negara-negara Arab pun tidak berdaya dalam membantu mempertahankan kemerdekaan umat muslim Palestina yang telah direnggut oleh Yahudi Israel secara brutal pada tahun 1948. Padahal jelas-jelas bahwa umat muslimlah pemilik Jerusalem yang sah sejak dahulu.

Dan berikut adalah bukti sejarah dimana Jerusalem telah berada di bawah kekuasaan berbagai penguasa Islam sepanjang sejarah, yang seharusnya dipertahankan oleh umat Islam saat ini.

1. Khalifah Umar ibn al-Khattab: Pada tahun 636 Masehi, Khalifah Umar dari Kekhalifahan Rasyidin berhasil menaklukkan Jerusalem. Dan Masjidil Aqsha dibangun pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 637 Masehi (16 Hijriah). Dan bentuk masjid yang kita lihat sekarang adalah hasil dari beberapa renovasi dan pembaruan oleh berbagai dinasti Islam, termasuk Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan putranya Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik pada abad ke-7 Masehi.

2. Dinasti Umayyah: Setelah penaklukan oleh Khalifah Umar ibn al-Khattab, Jerusalem berada di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah yang memerintah dari tahun 661 hingga 750 Masehi.

3. Dinasti Abbasiyah: Setelah Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah menguasai Jerusalem dari tahun 750 hingga 969 Masehi.

4. Dinasti Fatimiyah: Dinasti Fatimiyah menguasai Jerusalem dari tahun 969 hingga 1099 Masehi.

5. Dinasti Ayyubiyah: Salahuddin al-Ayyubi berhasil merebut kembali Jerusalem dari Tentara Salib pada tahun 1187 Masehi setelah Pertempuran Hattin.

6. Kesultanan Mamluk: Setelah Dinasti Ayyubiyah, Jerusalem berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mamluk dari tahun 1250 hingga 1517 Masehi.

7. Kesultanan Utsmaniyah: Kesultanan Utsmaniyah menguasai Jerusalem dari tahun 1517 hingga 1920 Masehi.

Dan sampai saat ini, status Jerusalem sudah menjadi kota yang sangat kontroversial, dimana kota ini telah dibagi menjadi dua bagian utama oleh kaum Yahudi ‘Israel’, yaitu West Jerusalem dan East Jerusalem, dimana West Jerusalem secara luas dianggap sebagai bagian dari Israel dan telah diakui secara ‘de facto’ oleh banyak negara sebagai ‘ibu kota’ Israel. Sedangkan kota Tel Aviv di ‘Israel’ dianggap hanya sebagai ibukota administrasi mereka saja.

Sementara wilayah East Jerusalem, dianggap oleh banyak negara dan organisasi internasional sebagai wilayah yang seharusnya menjadi ibu kota negara Palestina yang baru, yang justru telah dicaplok dan dikuasai juga oleh Yahudi ‘Israel’ sejak Perang Enam Hari pada tanggal 5-10 Juni 1967.

Adapun wilayah East Jerusalem ini meliputi wilayah Tepi Barat (West Bank), yang mencakup wilayah beberapa kota besar seperti Ramallah, Hebron, dan Nablus. Dan Masjid Al-Aqsa yang suci terletak di East Jerusalem ini, memiliki nilai sejarah dan spiritual yang sangat penting bagi umat Muslim dan telah menjadi fokus dari berbagai peristiwa penting dalam sejarah Islam.

Namun di bawah tekanan negara Amerika Serikat, kaum Yahudi ‘Israel’, dan negara-negara Eropa laknatullah lainnya sejak awal tahun 1950-an, juga semenjak kejatuhan Dinasti Utsmaniyah di awal abad ke-20, maka umat muslim dunia pun akhirnya menjadi ciut nyalinya, dan lebih memilih untuk mundur teratur dalam melihat jatuhnya Jerussalem dan Palestina ke tangan Yahudi ‘Israel’.

Semoga, setelah memahami dan merenungi apa hikmah besar yang lain yang terkandung dalam peristiwa Isra dan Mi’raj Rasulullah salallahu‘alaihi wassalam tersebut, dan setelah mengetahui petunjuk politik yang datangnya langsung dari Allah Ta’alla tersebut, akan timbul lagi motivasi yang lebih kuat dari umat muslim dunia untuk terus bersatu, terutama bersatu dalam merebut kembali Masjid suci Al Aqsha dari pendudukan kaum Yahudi ‘Israel’ laknatullah, dan bersatu dalam membela perjuangan rakyat Palestina dalam merebut kembali kemerdekaan di tanah air mereka sendiri.

Karena apapun mahzabnya, selama ber-Tuhan kan Allah Ta’alla, dan ber-nabi kan Rasulullah salallahu‘alaihi wassalam, serta beriman kepada Al Qur’an dan as-sunnah, maka kita adalah umat yang satu, umat yang besar, dan umat yang cerdas.

Ya, cerdas karena dapat mengetahui dan menangkap apa pesan-pesan mendalam yang diisyaratkan oleh Allah Ta’alla dalam setiap peristiwa-peristiwa besar yang pernah terjadi di dalam sejarah peradaban Islam. In sya Allah….

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 28 Januari 2025

*Dosen Sekolah Pacasarjana Prodi MMPI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI/ Sekretaris Majelis Riset dan Digitalisasi PB Al Washliyah.

*Tulisan ini pernah ditayangkan di beberapa media nasional pada bulan Oktober 2023, dan telah diedit seperlunya oleh penulis aslinya, H.J. Faisal.

Loading

redaksi