16 Februari 2025
H J FAISAL

ARAHBANUA.COM

 

 

Oleh: H. J. Faisal

 

Khusus untuk saya pribadi, timbulnya perasaan cinta terhadap sesuatu atau seseorang bukanlah disebabkan karena kesenangan atau kemewahan yang diberikan oleh sesuatu atau oleh seseorang tersebut secara sepihak.

Namun, cinta akan lebih dapat dirasakan nikmatnya, ketika ada sebuah kemudahan yang dihasilkan dari sebuah kesepahaman dua belah pihak, dimana kemudahan dan kesepahaman tersebut juga dihasilkan dari sebuah perjuangan bersama.

Mungkin kita akan lebih mengingat tentang bagaimana orangtua kita, keluarga, istri atau suami kita, atau sahabat kita, yang rela bersedia berada di sisi kita, ketika kita sedang berjuang untuk keluar dari sebuah kesulitan, dibandingkan ketika mereka berada di sisi kita ketika kita sedang berada dalam kesenangan.

Mungkin kita akan lebih mengingat tentang bagaimana orangtua kita, keluarga, istri atau suami kita, atau sahabat kita, yang rela bersedia berada di sisi kita, ketika semua orang justru ingin berada jauh dari diri kita, karena mereka tidak ingin direpotkan oleh semua keluh kesah kita.

Atau mungkin kita akan lebih mengingat tentang bagaimana orangtua kita, keluarga, istri atau suami kita, atau sahabat kita, yang rela bersedia berada di sisi kita, ketika kita sedang jatuh karena kesombongan kita dan kebodohan kita sendiri.

Ya, itulah cinta…..

Cinta juga dapat tumbuh terhadap para pemimpin kita atau guru-guru kita yang memang dapat memberikan dorongan kepada kita.

Ketika kita masih menjadi seorang pelajar atau mahasiswa dulu, betapa kita mengandalkan para guru dan dosen-dosen kita pada waktu itu, untuk menuntun kita ke arah yang benar, karena begitu banyaknya wilayah gelap dan wilayah temaram yang harus kita lalui, namun kita belum tahu arah mana yang harus kita tuju.

Kita percaya bahwa para guru kita pada waktu itu telah melalui banyak arah, telah melihat banyak kejadian, dan telah memiliki banyak pengalaman dalam hidup, sehingga kita sebagai muridnya tidak ragu sedikitpun untuk mengikuti petunjuk yang mereka berikan kepada kita.

Dalam keadaan yang serba gelap dan kalut itulah, maka datang berbagai kemudahan atas petunjuk dari para pemimpin kita yang berwujud para guru kita.

Dan dari situlah maka rasa cinta, rasa hormat, dan rasa sayang kita muncul kepada mereka.

Bumi terus berputar dan waktu pun terus berjalan.

Kini saatnya kita yang menjadi guru atau dosen bagi para murid atau mahasiswa kita.

Rasa yang sama pastinya kini dirasakan oleh para murid-murid kita. Gelap, bingung, dan takut dengan apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang.

Karena kita pernah menjadi murid atau mahasiswa, sedangkan para murid kita belum pernah menjadi seorang guru atau dosen, maka itu artinya, segala kendali kepemimpinan ada di pundak kita.

Tanpa harus memberikan mereka kuliah yang terlalu banyak dan panjang lebar, mungkin lebih baik jika kita berikan mereka kesempatan lebih banyak untuk mengutarakan pemikiran mereka dan unek-unek mereka tentang kehidupan ini.

Tanpa harus memberikan mereka kisah-kisah hidup kita yang mungkin kurang menarik bagi mereka, mungkin lebih baik jika kita menuntun mereka untuk menceritakan apa yang telah mereka lihat, apa yang telah mereka dengar, dan apa yang telah mereka rasakan selama ini.

Dan dari cerita-cerita mereka tersebut, kembali kita menuntun mereka untuk mengambil kesimpulan baik dan buruknya atas semuanya itu.

Dan tanpa harus memberikan mereka petuah-petuah tentang simbolisme yang tidak jelas asal-usulnya, lebih baik kita damping mereka untuk mendapatkan sebuah pengalaman tentang bagaimana caranya menjadi diri sendiri, mengeluarkan potensi diri sendiri, dan bagaimana caranya menjadi seorang pemimpin yang bertanggung jawab (Dignitary Leadership) dan di sisi lain juga menjadi pengikut yang bertanggung jawab pula (Dignitary Followership).

Bukankah Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan nasional kita, pernah menekankan, bahwa pendidikan harus memanfaatkan dua pendekatan, yaitu pendekatan ‘EDUCERE’ dan pendekatan ‘EDUCARI’?

Kedua pendekatan ini wajib digunakan oleh kita para pengajar, guru atau dosen, untuk memberikan pengalaman belajar yang menyeluruh dan berdampak positif bagi murid atau mahasiswa, dan seluruh peserta didik kita.

Ya, Educere (membimbing keluar) adalah sebuah pendekatan untuk mendidik, yang merujuk kepada proses mengembangkan potensi individu dan membawa mereka menjadi lebih baik melalui pendidikan. Dan dalam pendekatan ini, fokusnya adalah pada penumbuhan kemampuan bawaan atau bakat alami yang dimiliki oleh murid-murid kita.

Sementara itu, Educari, lebih berfokus kepada proses mendidik atau mengajar secara formal. Hal ini mencakup penyampaian pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang relevan yang dipandang penting dalam pendidikan.

Bukankah tujuan esensial dari sebuah nilai pendidikan adalah menumbuhkan sebuah ikatan cinta yang abadi, antara ilmu pengetahuan, perantara pembawa ilmu pengetahuan, yaitu kita sebagai para pendidik, dan para penerima ilmu pengetahuan itu sendiri?

Jadi, ketika suatu saat, kita telah tidak ada lagi di dunia ini, maka ikatan cinta itu akan tetap ada, karena ilmu pengetahuan akan tetap ada dan terus berkembang, para perantara pembawa ilmu pengetahuan baru akan tetap ada dan terus tumbuh , dan para penerima ilmu pengetahuan itu pun akan tetap ada dan terus menanti.

Dan tentu saja ikatan cinta itu akan tetap ada, karena datangnya sebuah petunjuk di dalam kebingungan, hadirnya sebuah titik terang di dalam kegelapan, dan keberadaan sebuah pendampingan jalan keluar di dalam ketersesatan, pastinya akan membuahkan sebuah ikatan cinta yang sejati.

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 22 Januari 2025

 

*Dosen Sekolah Pacasarjana Prodi MMPI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekretaris Majelis Riset dan Digitalisasi PB Al Jam’iyatul Washliyah/ Anggota PJMI

 

 

 

Loading

redaksi