ARAHBANUA.COM
Oleh: H J FAISAL
Konstelasi Dinamis Politik Indonesia
Konstelasi politik yang terjadi di Indonesia dalam 4 hari terakhir ini sungguhlah sangat dinamis sekali. Ketika gabungan partai politik yang berada di bawah ketiak kekuasaan sedang berpesta riuh, karena sedang memiliki kepercayaan diri yang tinggi, disebabkan mereka berhasil menghasilkan pasangan calon definitif, sekaligus pasangan calon bonekanya (agar tidak ada kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta nanti), untuk meraih kursi kepemimpinan Gubernur Provinsi DKI Jakarta di akhir tahun 2024 ini.
Secara mengejutkan, atas permohonan peninjauan dari dua partai ‘dhuafa’ yaitu partai Gelora dan Partai Buruh, yang telah mereka ajukan ke MK sejak akhir Mei 2024 yang lalu, akhirnya para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) negara ini mengabulkannya, dengan mengeluarkan perubahan aturan tentang diperbolehkannya partai-partai politik minoritas yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk mencalonkan jagoan mereka dalam kontestasi pemilihan Gubernur dan kepala daerah tingkat Bupati dan Walikota.
Akhirnya, para politisi partai politik yang berada nyaman di bawah ketiak kekuasaan pemerintah saat ini tersebut seperti ‘kecele’ dan ‘kebakaran jenggot’. Sementara para politisi yang berada di partai-partai ‘dhuafa’ merasa sangat gembira dan sumringah.
Ya, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diputuskan pada 20 Agustus 2024 yang lalu tersebut, telah merubah ambang batas pencalonan kepala daerah. Dalam arti yang lain, telah membawa angin segar bagi demokrasi Indonesia yang selama hampir 10 tahun belakangan ini ‘dicekik’ oleh para penguasa pemerintahan negara dan partai-partai politik yang berada di bawah naungan penguasa tersebut, penguasa yang sedang mabuk kekuasaan.
Adapun poin-poin penting dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut adalah sebagai berikut:
1. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai 2 juta jiwa: Partai politik atau gabungan partai politik harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen.
2. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2 juta sampai 6 juta jiwa: Partai politik atau gabungan partai politik harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5 persen.
3. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6 juta sampai 12 juta jiwa: Partai politik atau gabungan partai politik harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen.
MK memutuskan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah tidak lagi menggunakan jumlah kursi di DPRD atau persentase suara sah hasil pemilu. Partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD tetap dapat mencalonkan pasangan calon kepala daerah. Tentu saja perubahan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan yang lebih adil bagi partai-partai kecil dan calon independen dalam pemilihan kepala daerah. Dengan demikian rakyat pun akan mempunyai banyak pilihan dalam memilih calon kepala daerah mereka yang memang memiliki kualitas nyata dalam hal kerja dan pemikiran, dan bukan hanya calon kepala daerah karbitan yang hanya memiliki uang banyak tetapi minus kualitas kerja dan pemikirannya.
Terlihat Siapa Penghianat dan Siapa Penyelamat Demokrasi Indonesia
Dari konstelasi politik yang sedang terjadi ini pula, akhirnya terlihat dengan jelas mana para petinggi pejabat negara dan lembaganya yang memihak kepada kepentingan rakyat, dan mana yang menjadi penghianat kepentingan rakyat dan bangsa.
Mana yang masih mempunyai hati untuk memihak kepada kebenaran, dan mana yang hatinya hanya ditujukan kepada kekuasaan dan terus melakukan konspirasi jahat terhadap rakyat. Mana yang menggunakan hukum sebagai panglima, dan mana yang menggunakan hukum hanya sebagai keset kaki mereka, yang mereka jadikan alas untuk terus menopang kuatnya nafsu syahwat kekuasaan mereka.
Penolakan yang datang dari DPR, atas dukungan eksekutif pun langsung dijalankan. Padahal sejatinya DPR dan semua pihak sejatinya harus menjalankan keputusan MK tersebut tanpa syarat, harus menerima semua keputusan MK yang bersifat mutlak, dan tanpa alasan yang ‘berekor’, demi kehormatan supremasi hukum di Indonesia, bukannya membuat langkah akal-akalan dengan membuat revisi undang-undang pilkada tersebut.
Dan bukankah DPR juga harus mewakili dan menjalankan kepentingan rakyat, tapi mengapa mereka malah hanya mewakili kepentingan partai-partai mereka dan kepentingan pemerintah, yang jelas-jelas hanya ingin mendapatkan kekuasaan terus menerus?
Bukankah mereka dapat menjadi anggota DPR dan bisa menikmati kursi empuk dan ruangan yang dingin itu karena suara dan dukungan rakyat? Ataukah karena mereka merasa bahwa dukungan rakyat tersebut sudah mereka bayar lunas dengan politik uang mereka, sehingga mereka merasa tidak memiliki tanggungjawab terhadap kepentingan rakyat? Pertanyaan-pertanyaan yang sangat naif memang….tapi ya menjadi naif sekali-kali, tidak apa-apa juga, kan…..?
Tidak perlu untuk menjadi cerdas terlebih dulu untuk melihat itu semua. Dan tidak perlu untuk memiliki gelar akademis yang tinggi untuk dapat mencerna situasi yang sedang terjadi saat ini. Para adik-adik mahasiswa yang belum lulus pun langsung dapat mencernanya. Anak-anak sekolah SMA dan STM pun langsung dapat memahaminya.
Bahkan rakyat jelata, yang dalam hal ini diwakilkan oleh para tukang kopi bersepeda yang ikut berjualan di sekitar Gedung DPR/MPR ketika terjadi aksi penolakan mahasiswa terhadap penghianatan yang sejatinya akan dilakukan oleh para anggota DPR yang terhormat tersebut, dapat mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya.
Bentuk ‘Perlawanan’ Para Hakim MK
Selain untuk melawan pengkerdilan demokrasi karena kuatnya nafsu kekuasaan penguasa pemerintahan saat ini, percaya atau tidak, boleh jadi kekompakan para Hakim MK dalam mengabulkan peninjauan Partai Gelora dan Partai Buruh tersebut sebagai salahsatu bentuk ‘perlawanan’ para hakim MK atas ‘kasus kriminalisasi’ terhadap Hakim Konstitusi Suhartoyo saat ini.
Seperti yang sudah diketahui bersama, bahwasannya saat ini Hakim Konstitusi Suhartoyo sedang melawan gugatan yang diajukan oleh Anwar Usman, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Anwar Usman menggugat keputusan yang mengangkat Suhartoyo sebagai Ketua MK, menggantikan dirinya. Ini adalah buntut dari keputusan Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) yang mencopot Anwar Usman dari jabatannya karena pelanggaran kode etik, yang kemudian memicu berbagai reaksi dan tindakan hukum lebih lanjut pada bulan November 2023 yang lalu. Adapun kasus yang melibatkan Hakim Konstitusi Suhartoyo di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terdaftar dengan Nomor Perkara 604/G/2023/PTUN.JKT
Hingga bulan Agustus 2024 ini, PTUN Jakarta telah memutuskan untuk mengabulkan sebagian gugatan Anwar Usman. PTUN pun membatalkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan Hakim Suhartoyo sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Meskipun demikian, Hakim Suhartoyo masih memimpin sidang di MK sambil menunggu keputusan lebih lanjut dari Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang akan diadakan untuk merespons putusan PTUN tersebut.
Maka dari itu, janganlah coba-coba ‘mengkriminalkan’ para hakim yang masih memiliki integritas tinggi terhadap keadilan. Jika seorang hakim dengan ‘kualitas’ seperti Anwar Usman sudah diputus bersalah oleh Dewan Etik dan Mahkamah Kehormatan MK (MKMK), karena melanggar etik dan moral atas putusannya dengan nomor 90/PUU-XXI/2023, yang merubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden, yang memuluskan keponakan barunya yang ‘ketemu gede’ menjadi wakil presiden, ya terima sajalah. Sebenarnya tidak perlu juga untuk memperkarakan penggantinya sebagai ketua MK, yaitu Hakim Suhartoyo ke pengadilan segala. Semut saja bila terinjak dia akan menggigit, apalagi para hakim MK yang cerdas-cerdas.
Viva MK dan para hakimnya…..rakyat berada di belakang anda semua. Mari kita lawan semua kedzaliman, rakyat sudah muak terhadap semua kebarbaran penguasa negeri ini dalam mengelola negara. Begitu teriak rakyat Indonesia para pembela demokrasi dan kebenaran yang beraksi di depan Gedung DPR dan di Gedung MK pada hari Kamis 22 Agustus 2024 yang lalu. Rakyat-rakyat Indonesia yang masih memiliki akal sehat, para mahasiswa, aktivis, dan tukang kopi sepeda.
Kita tunggu dan lihat saja bagaimana dinamika konstelasi politik di Indonesia yang terjadi selanjutnya. Lebih seru pastinya, in sya Allah.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 25 Agustus 2024
*Dosen Prodi PAI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI
KOMENTAR TERBARU