ARAHBANUA.COM
Oleh: H J FAISAL
Pembuka
Jika di Yogyakarta ada seorang Pahlawan Nasional yang berjuang mencerdaskan anak bangsa melalui pendidikan, dengan tujuan membebaskan bangsa dari segala bentuk penjajahan, yaitu Ki Hajar Dewantara (1889-1959), maka pada waktu yang bersamaan, dari tanah Sunda, Indonesia juga mempunyai seorang Pahlawan Nasional yang juga berjuang mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa, khususnya untuk kaum perempuan.
Ya, pahlawan sejati dari tatar Sunda tersebut adalah Raden Dewi Sartika. ‘Djuragan Dewi’ adalah panggilan akrabnya.
Dewi Sartika lahir pada hari Kamis, 4 Desember 1884 di Cicalengka, Bandung, dan meninggal pada hari Kamis pula, tepatnya tanggal 11 September 1947 di Cineam, Tasikmalaya.
Jika Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa pada tahun 1922 di Yogyakarta, maka sesungguhnya Dewi Sartika sudah mendirikan ‘Sekolah Isteri’ di Bandung pada tahun 1904, yang kemudian berkembang menjadi ‘Sekolah Kautamaan Isteri’.
Dalam tulisan opini mengenai perjuangan Pahlawan Nasional dari tatar sunda ini, saya tidak ingin membandingkan antara perjuangan yang telah dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara dan Dewi Sartika, karena keduanya adalah para pahlawan sesungguhnya dalam membebaskan bangsa ini dari penjajahan melalui pendidikan.
Namun pada penulisan artikel istimewa kali ini, saya lebih ingin mengajak kita semua untuk merasakan bagaimana semangat, kesulitan, perasaan bahagia, dan kesedihan yang dialami oleh Dewi Sartika dalam upayanya mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan di sekitarnya, dengan cara menjadikan mereka perempuan-perempuan Indonesia yang terdidik dan bermartabat.
Pergulatan Batin Dewi Sartika
Pada masa-masa Dewi Sartika mulai beranjak remaja, sesungguhnya Dewi Sartika sering mengalami pergolakan batin yang sangat luar biasa. Di satu sisi, dia merasa beruntung karena terlahir dari keluarga priyai atau keluarga bangsawan pejabat daerah.
Ayahnya yang bernama Raden Soemanegara memang adalah seorang patih di Bandung pada waktu itu. Dan jabatan patih ini setingkat dengan Deputi Bupati atau Wakil Bupati. Sedangkan ibunya yang Bernama Raden Ayu Rajapermas, adalah seorang anak dari Bupati Bandung itu sendiri, yaitu Raden A. A. Martanegara, yang notabene adalah kakek sang Djuragan Dewi.
Tentu saja Dewi Sartika kecil merasa sangat beruntung dengan keadaannya pada waktu itu, dikarenakan dia dapat menikmati pendidikan di sekolah dasar yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda pada saat itu, yaitu sekolah Hollandsch Inlandsche School (HIS) atau setingkat dengan Sekolah Dasar (SD) saat ini. pada awal tahun 1900-an, pemerintah Hindia Belanda memang sedang menjalankan sebuah politik balas budi atau yang lebih dikenal dengan politik etis kepada rakyat Indonesia.
Menurut cacatan dari berbagai sumber, adapun politik etis, atau politik balas budi, diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal tahun 1900-an sebagai tanggapan terhadap kritik dan kecaman atas kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) yang sangat merugikan rakyat Indonesia.
Berikut adalah beberapa alasan utama mengapa Belanda menerapkan politik etis:
1. Kritik dari Kaum Etis; Beberapa tokoh Belanda, seperti Pieter Brooshooft dan C.Th. van Deventer, mengkritik kebijakan tanam paksa dan menyuarakan perlunya tanggung jawab moral untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat pribumi. Van Deventer, misalnya, menulis artikel berjudul “Een Eereschuld” (Hutang Kehormatan) yang menekankan kewajiban Belanda untuk membalas budi kepada rakyat Indonesia.
2. Perubahan Kebijakan Kolonial; Pada tahun 1901, Ratu Wilhelmina dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda menyatakan bahwa pemerintah Belanda memiliki tanggung jawab moral untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di Hindia Belanda. Ini menandai perubahan signifikan dalam kebijakan kolonial Belanda dari eksploitasi ekonomi menuju pembangunan sosial.
3. Tekanan Internasional; Pada awal abad ke-20, ada tekanan internasional yang meningkat untuk memperlakukan koloni dengan lebih manusiawi dan adil. Belanda, seperti kekuatan kolonial lainnya, merasa perlu untuk menunjukkan bahwa mereka memperhatikan kesejahteraan rakyat di wilayah jajahannya.
4. Tujuan Pembangunan; Politik Etis mencakup tiga program utama: irigasi, edukasi, dan emigrasi. Program ini bertujuan untuk meningkatkan infrastruktur pertanian, memperluas akses pendidikan, dan mengatur transmigrasi untuk mengurangi kepadatan penduduk di beberapa daerah.
Meskipun niat awalnya baik, implementasi politik etis sering kali tidak sesuai harapan dan banyak mengalami penyimpangan. Namun, kebijakan ini tetap memberikan dampak positif dalam memperluas akses pendidikan dan meningkatkan kesadaran nasional di kalangan pribumi.
Meskipun demikian, di sisi lain, Dewi Sartika juga merasa sedih, karena dia melihat banyak perempuan seusianya, bahkan di atas usianya, yang tidak pernah mendapatkan pendidikan di sekolah, dan tentu saja tidak dapat membaca, menulis dan berhitung seperti dirinya, dikarenakan keadaan mereka yang bukan berasal dari golongan priyai atau bangsawan.
Rendahnya kedudukan perempuan dalam masyarakat Sunda dan mayoritas perempuan di tanah Jawa pada waktu itu, sejatinya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Pertama, pada masa Kerajaan Mataram, feodalisme berkembang dengan menempatkan istri sebagai lambang status seorang pria, sehingga perempuan yang awalnya adalah subjek berubah menjadi objek.
Kedua, kedatangan agama Islam yang belum dapat diterima pemahamannya secara utuh, dan kesalahpahaman masyarakat terhadap konsep perempuan dalam Islam, di mana kebiasaan orang Arab yang menganggap perempuan lebih rendah daripada laki-laki yang dianggap sebagai ‘ajaran’ dalam Islam.
Ketiga, ada beberapa tradisi seperti perkawinan yang cenderung merugikan perempuan, seperti kawin paksa, kawin gantung (pernikahan anak-anak), perceraian sepihak, serta faktor perekonomian bangsa Indonesia yang memburuk pada masa penjajahan colonial Belanda, terutama pada abad ke-19.
Dari latarbelakang kehidupan para perempuan yang seperti itu, akhirnya Dewi Sartika terdorong untuk membantu mengeluarkan mereka dari segala macam bentuk ketidakberdayaan tersebut.
Gerak Perjuangan Dewi Sartika
Sejak Dewi Sartika masih bersekolah di HIS, sampai dengan masa usia remajanya, Dewi Sartika selalu menyempatkan diri untuk mengajar para perempuan yang tinggal di sekitar lingkungannya, yaitu sekitar kepatihan Bandung, untuk dapat membaca, menulis, dan berhitung. Ilmu apa yang dia dapatkan dari sekolahnya, kemudian dia beritahukan kembali kepada ‘murid-muridnya’ tersebut.
Kita mungkin dapat membayangkan dan merasakan bagaimana sulitnya seorang Dewi Sartika untuk mengajarkan para perempuan di sekitar lingkungannya tersebut. Betapa banyak kesabaran, keuletan, dan kegigihan seorang Dewi Sartika yang masih ‘hijau’ dalam mentransfer ilmunya kepada mereka yang membutuhkannya. Ditambah lagi dengan penderitaan psikologis yang dialaminya, ketika Dewi Sartika berusia 9 tahun, ayahnya dibuang oleh Belanda ke Ternate sampai saat kematiannya, dikarenakan berkonflik dengan pihak Belanda pada waktu itu. Sungguh sebuah keadaan yang sangat menyakitkan hati bagi seorang anak seusia Dewi Sartika.
Namun kesedihan itu mampu ditahan oleh Dewi Sartika, dikarenakan semangatnya untuk mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain sangatlah besar, hingga dia mampu mengalahkan kesedihan yang dialaminya.
Hingga ketika itu pada saat Dewi Sartika berusia 10 tahun, daerah Cicalengka dan Bandung digemparkan oleh kemampuan baca tulis hitung, dan beberapa pepatah dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan Bandung. Hal tersebut menjadi gempar karena waktu itu belum banyak anak-anak yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan pula.
Dukungan dari sang ibu, saudara-saudaranya di sekitar kepatihan, dukungan dari sang kakek yang merupakan Bupati bandung pada waktu itu, bahkan dukungan yang diberikan oleh Den Hamer, seorang Belanda yang menjadi Inspektur Kantor Pengajaran saat itu, merupakan sebuah pecutan semangat dan pecutan motivasi sang Djuragan Dewi untuk berkiprah lebih giat lagi.
Akhirnya, dengan bantuan dari semua orang dekat Dewi Sartika tersebut, pada usianya yang ke-20, tepatnya pada tanggal 16 Januari 1904, sebuah sekolah seperti yang dicita-citakan oleh Dewi Sartika pun terwujud. Sekolahnya tersebut diberi nama ‘Sekolah Isteri’.
Perkembangan Perjuangan Pendidikan Dewi Sartika
Setelah Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata pada tahun 1906, di usianya yang ke-22 tahun, semangat Dewi Sartika dalam mengelola ‘Sekolah Isteri’ menjadi bertambah. Hal ini disebabkan karena suami Dewi Sartika juga memiliki visi dan cita-cita yang sama dengannya dalam menjadikan pendidikan sebagai jalan perjuangan mereka dalam membebaskan bangsa dari kebodohan dan penjajahan. Suami Dewi Sartika sendiri adalah seorang guru di sekolah Karang Pamulang, yang saat itu merupakan Sekolah Latihan Guru.
Setelah 6 tahun menjalankan ‘Sekolah Isteri’, akhirnya pada tahun 1910, Dewi Sartika merubah nama ‘Sekolah Isteri’ menjadi ‘Sekolah Kautamaan Isteri.’ Adapun alasan ‘Sekolah Isteri’ menjadi ‘Sekolah Kautamaan Isteri’ adalah agar lebih mencerminkan tujuan pendidikan sekolah tersebut. Dewi Sartika pada waktu itu memiliki harapan bahwa nama baru ini dapat lebih menekankan pada pentingnya menghasilkan perempuan-perempuan yang utama dan berpendidikan, yang tidak hanya terampil dalam urusan rumah tangga tetapi juga memiliki pengetahuan umum dan keterampilan lainnya.
Dewi Sartika berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak menjadi ibu rumah tangga yang baik, mandiri, luwes dan terampil. Maka dari itulah pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak pula ia berikan di dalam mengajar. Dan untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana, jerih payahnya tidak dirasakan sebagai beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena dia telah berhasil mendidik kaumnya.
Akhirnya, mata pelajarannya pun bertambah, termasuk memasak, menyetrika, mencuci, dan membatik yang dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajarannya. Bahkan pada tahun 1911, “Sekolah Kautamaan Isteri” diperluas lagi divisi pengajarannya, sehingga sekolah tersebut dibagi menjadi dua bagian: bagian pertama menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa pengantarnya, dan bagian kedua menggunakan Bahasa Belanda dan Bahasa Melayu (Indonesia) sebagai bahasa pengantarnya.
Karena kepiawaian Dewi Sartika dalam mengelola sekolah tersebut, akhirnya kegiatan pembelajaran yang dilakukan di sekolah ‘Sekolah Kautamaan Isteri’ ini menarik perhatian beberapa Wanita priyai di tempat lain di Jawa Barat, serta menarik perhatian Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Alexander Willem Frederik Idenburg. Karena ketertarikan terhadap sekolah besutan sang Djuragan Dewi tersebut, akhirnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda memberikan bantuan pendanaan operasional sekolah kepada Dewi Sartika.
Bermodalkan dukungan positif yang didapatkan dari semua pihak tersebut, maka pada tahun-tahun berikutnya, di beberapa wilayah Jawa Barat, bermunculan beberapa Sekolah Istri (Sekolah khusus pemberdayaan Perempuan pada waktu itu) yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Dan pada tahun 1912 sudah berdiri sekitar 9 Sekolah Isteri di kota-kota dan kabupaten di sekitar jawa Barat. Bahkan pada tahun 1920, Sekolah-sekolah Isteri ini sudah bermunculan hampir di seluruh kota dan kabupaten di Jawa Barat. Bahkan semangat pendidikan ini menyeberang sampai ke ranah Sumatera, tepatnya ke Bukittinggi, dimana Sekolah Kautamaan Istri ini di dirikan oleh Encik Rama Saleh.
Penutup
Namun sangat disayangkan, ketika jepang masuk untuk menjajah Indonesia pada tahun 1945, banyak Sekolah-Sekolah Isteri ini yang dihancurkan oleh pihak Jepang. Banyak pengelola sekolah tersebut yang dibunuh oleh tentara Jepang, dan dijadikan ‘Romusha’ oleh mereka. Tentu saja hal tersebut dilakukan oleh pihak penjajah Jepang, karena mereka tidak ingin pribumi Indonesia menjadi cerdas, sehingga bisa membahayakan posisi kedudukan Jepang di Indonesia.
Dan pada akhirnya Dewi Sartika meninggal pada tanggal 11 September 1947 di Tasikmalaya dalam usia 63 tahun, ketika beliau sedang menghindari kejaran pihak Jepang. Dewi Sartika dimakamkan dengan upacara sederhana di pemakaman Cigagadon- Desa Rahayu kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian, makamnya di pindahkan di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jl. Karang Anyar Bandung. Dewi Sartika dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Desember 1966.
Dari kisah sang Djuragan Dewi di atas, akhirnya kita dapat menarik beberapa kesimpulan, bahwa kemurnian jiwa seorang pendidik yang ada di dalam jiwa seorang Dewi Sartika telah mampu menghasilkan banyak pemikiran-pemikiran yang sangat maju dalam pengelolaan sebuah lembaga pendidikan yang kompeten dan komprehensif.
Kurikulum terintegrasi antara teori ilmu pengetahuan dan praktiknya (ontologi, epistimologi, dan aksiologi) yang diberikan oleh Dewi Sartika di ‘Sekolah Kautamaan Isteri’, ternyata merupakan sebuah pemikiran kurikulum yang ‘melebihi’ jamannya pada waktu itu. Kegiatan belajar yang mengimbangi kemampuan pemikiran murid-muridnya juga sudah dipraktekkan oleh Dewi Sartika, dengan cara membagi tingkatan kelas-kelasnya.
Konsep ‘Link and Match’ (memberikan keterampilan hidup yang akan digunakan dalam kehidupan sehari-hari) juga sebenarnya sudah dilakukan oleh Dewi Sartika dalam konsep pendidikannya. Sungguh sebuah pemikiran yang sangat maju di jamannya.
Mungkinkah para pendidik Indonesia saat ini masih memiliki kemurnian jiwa dan keikhlasan dalam mendidik anak bangsa, sehingga dapat menghasilkan semangat dan pemikiran-pemikiran yang cemerlang dalam mendidik, seperti semangat dan pemikiran-pemikiran cemerlangnya Dewi Sartika? Entahlah….
Akhirnya, sebagai seorang putra keturunan Sunda yang berkediaman di ibukota Jakarta, saya akan merasa selalu bangga jika saya melewati Jl. Dewi Sartika, daerah Cawang Jakarta Timur.
Ya, bangga karena saya dan Dewi Sartika berasal dari tatar Sunda yang sama, dan juga mempunyai profesi yang sama, yaitu sama-sama sebagai pendidik anak bangsa.
Semoga Allah Ta’alla membalas semua perjuanganmu dengan kedudukan yang mulia di sisi-Nya…..’Sang Djuragan Dewi’ pendidik bangsa. Aamiin.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 20 Agustus 2024
*Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI
KOMENTAR TERBARU