16 Februari 2025
H J FAISAL

ARAHBANUA.COM

 

 

Oleh: H. J. FAISAL *

 

Preambule

Untuk seluruh generasi muda yang saat ini sedang berada dalam lingkaran kehidupan kita, baik itu anak kandung kita sendiri, murid-murid kita, mahasiswa kita, atau bahkan mereka semua generasi muda Indonesia yang berada di seluruh penjuru negeri ini, pastinya sudah memahami, bahwasanya negeri ini akan menghadapi tantangan yang teramat berat dalam menyongsong masa depannya.

Gembar-gembor tentang masa depan ‘Indonesia Emas’ di tahun 2045 nanti, atau pas di 100 tahun masa kemerdekaan Indonesia, juga menjadi bahan perbincangan hangat di antara mereka, pastinya.

Ya, gembar-gembor tentang masa depan ‘Indonesia Emas’ di tahun 2045 yang diharapkan akan cerah nanti, pastinya masih merupakan sebuah omon-omon belaka, dimana salahsatu penyebabnya dikarenakan masih berantakannya masalah pendidikan nasional, dimana pendidikan nasional kita masih belum memiliki Blueprint pendidikan nasional yang pasti, sehingga apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi permasalahan pendidikan nasional, dan mau ‘dibawa’ kemana pendidikan nasional dalam kurun waktu jangka menengah (5 sampai 10 tahun) kedepan, dan dalam kurun waktu jangka panjang (20 sampai 30 tahun) yang akan datang, masih sangat ‘mendung’ cenderung ‘gelap’….sepertinya selalu gelapnya langit Indonesia di musim penghujan ini.

Dan dapat dipastikan, maka yang akan terjadi hanyalah ‘bongkar pasang’ alias ‘tambal sulam’ kebijakan di daerah ‘hilir’ nya saja. Istilah ‘ganti menteri ganti kebijakan atau ganti menteri ganti kurikulum’ sesungguhnya masih sangat pantas untuk disematkan dalam sistem pendidikan nasional kita saat ini.

Yang berubah hanyalah sisi nomenklaturnya saja, sedangkan inti kebijakannya samasekali tidak ada perubahan.

Apalagi saat ini muncul wacana untuk ‘menyeret’ dunia pendidikan tinggi ke dalam kancah bisnis pertambangan, dengan alasan bahwa pendidikan tinggi atau kampus akan lebih sejahtera jika diberikan peluang untuk ikut mengelola tambang di negeri ini.

Sungguh sebuah alasan kebijakan yang sangat absurd dan samar, dan sepertinya hanya lebih sekedar akal-akalan yang hanya ada di pikiran para politisi Indonesia yang masih ‘lapar’ dengan harta dan kekuasaan.

Karena dari kebijakan tersebut, sudah jelas tujuannya bagi para politisi yang sedang berkuasa saat ini, terutama dari Partai Gerindra dan Partai Golkar (dua partai yang meloloskan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) tanggal 23 Januari 2025) adalah:

Pertama, untuk meredam sikap kritis dari mahasiswa dan dosen di kampus terhadap pemerintahan rezim yang sedang berkuasa saat ini, dan yang Kedua, jika nantinya ternyata kampus tidakmampu untuk mengelola tambang tersebut, maka diharapkan kampus akan menjual perizinan tambang tersebut atau melakukan Kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang berkompeten dalam dunia pertambangan, yang disinyalir bahwa perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut juga dimiliki oleh para politisi-politisi yang meloloskan revisi UU Minerba tersebut.

Sungguh sangat mudah terbaca sekali semua niatan para politisi tersebut, bukan? Betapa hancurnya esensi dan eksistensi dunia pendidikan Indonesia saat ini, karena terlalu dibenamkan ke dalam kancah perpolitikan Indonesia yang lebih banyak mudharatnya.

Fiksional Indonesia Emas 2045

Dalam menghadapi fiksional Indonesia Emas 2045 nanti, banyak juga dibicarakan tentang istilah ‘Indonesia Emas’ dan istilah ‘Bonus Demografi’ di dalamnya. Tentu saja, karena ‘bonus demografi’ ini dianggap sebagai salahsatu faktor penentu keberhasilan dari keadaan ‘Indonesia Emas’ 2045 itu sendiri.

Tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah istilah ‘Indonesia Emas’ di tahun 2045 nanti, merupakan istilah simbolik dari lamanya waktu 100 tahun yang biasa dikaitkan dengan istilah ‘satu abad emas’….?

Atau….apakah memang Indonesia benar-benar ingin mewujudkan cita-cita negara adil dan sejahtera, sekaligus mengambil momen masa keemasan atau kejayaannya bertepatan dengan seratus tahun sejak kemerdekaannya di tahun 1945 silam?

Pertanyaan kedua adalah, apakah tepat jika kita mengatakan bahwa banyaknya penduduk produktif Indonesia yang diprediksi akan tumbuh di tahun 2035 sampai 2045 sampai 60 persen lebih tersebut, layak disebut sebagai ‘Bonus Demografi’?

Apakah penduduk produktif Indonesia yang diprediksi akan tumbuh di tahun 2035 sampai 2045 hingga 60 persen lebih tersebut, akan tumbuh begitu saja tanpa kita perjuangkan saat ini, sehingga hanya disebut sebagai ‘bonus’?

Baiklah, kita akan mencoba menjawab dua pertanyaan tersebut melalui pemaparan sederhana saya berikut ini. tetapi sebelumnya, seperti biasa….jangan lupa untuk menegakkan sandaran kursi, mengencangkan sabuk pengaman anda, melipat sandaran meja yang ada di hadapan anda, dan membuka penutup jendela yang berada di samping anda…..

Tahun 2045 yang dianggap sebagai satu abad emas Indonesia tentunya akan kita capai bersama dalam kurun waktu sekitar 21 tahun kedepan, itupun kalau belum keburu datang kiamat Qubro, in sya Allah.

Artinya, dengan demikian, tanpa perlu usaha sedikitpun, Indonesia akan tetap menuju ke arah tahun ‘Emas’ tersebut dengan sendirinya, jika berdasarkan perhitungan waktu yang real tersebut.

Cukup bersabar selama 20 tahun lagi, duduk santai sambil bermain ‘Tik Tok’, Indonesia dapat dipastikan dapat meraih ‘Indonesia Emas’ nya di tahun 2045.

Tetapi, berbeda masalahnya jika Indonesia memang ingin meraih masa keemasannya dalam kualitas kehidupan yang lebih baik. Ya, kualitas kehidupan yang lebih baik dalam pendidikannya, ekonominya, politiknya, hukumnya, lingkungan alamnya, dan kualitas yang lebih baik dalam segala aspek kehidupannya.

Untuk meraih masa keemasan yang seperti ini pastinya diperlukan usaha yang keras, diperlukan pula konsep serta teknis yang lebih matang, dan juga komitmen untuk berubah lebih maju dari seluruh pihak, serta mampu meninggalkan budaya yang merusak bangsa dan negara, yaitu koruptif, kolutif, nepotif, budaya malas, serta budaya ‘alergi’ terhadap ilmu pengetahuan dan ‘alergi’ juga terhadap budaya pemikiran kritis.

Dalam upaya mencapai masa keemasan Indonesia di tahun 2045 nanti, harus ada upaya pembangunan kualitas sumber daya manusia sejak dini.

Adapun upaya pembangunan kualitas sumber daya manusia ini sesungguhnya sudah ada ukuran atau indikator yang digunakan oleh pemerintah, baik indikator nasional maupun indikator internasional.

Salahsatu indikator yang digunakan tersebut dinamakan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indikator penting yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup masyarakat atau rakyat suatu bangsa. IPM sendiri mencakup tiga dimensi utama, yaitu kualitas rakyat dalam bidang kesehatan (umur panjang dan hidup sehat), pendidikan (pengetahuan), dan kualitas perekonomian dengan standarisasi hidup yang layak (pendapatan per kapita).

IPM pada awalnya diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990 sebagai alat untuk menilai kualitas hidup dan pembangunan manusia di berbagai negara.

Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) bertanggung jawab untuk mengukur dan melaporkan perkembangan IPM setiap tahunnya. Nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia juga ditentukan oleh BPS. BPS mengumpulkan dan menganalisis data dari berbagai sumber untuk menghitung IPM.

Dan sampai per tahun 2024, IPM Indonesia hanya berada di angka 74,39.

Angka ini tentu saja sangat berbeda jauh dengan angka rata-rata IPM di beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Malaysia misalnya. Saat ini Malaysia telah mampu untuk meningkatkan kualitas kehidupan rakyatnya secara merata dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan perekonomiannya.

Setelah pandemik Covid-19 pada tahun 2020-2021 silam, Malaysia terus bergerak untuk meningkatkan kembali laju perekonomian bangsanya yang cukup terpuruk pada waktu itu.

Proses pergantian roda pemerintahan yang silih berganti dalam kurun waktu hampir 10 tahun terakhir ini, dan terjangan badai korupsi yang melanda pemerintahannya, cukup membuat kualitas kehidupan Malaysia memburuk.

Namun setelah terjadi reformasi dalam pemerintahannya, Malaysia akhirnya berhasil menaikkan indeks kualitas kehidupan mereka masuk kembali ke papan menengah, dengan nilai IPM sebesar 80,3.

Begitupun dengan negara-lainnya, seperti Singapura yang berada di indeks 93,5 (tertinggi di ASEAN dan berada di peringkat 9 tertinggi di dunia), dan Brunei Darussalam yang berada di poin indeks 83,0

Indikator Utama ‘Indonesia Emas’ 2045

Untuk mencapai visi dan misi masa keemasan Indonesia di tahun 2045 nanti, usaha untuk melakukan peningkatan IPM yang signifikan, pastinya merupakan sebuah kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar kembali.

Memang, meskipun IPM Indonesia hanya berada di kisaran angka 74,39, namun setidaknya poin IPM yang mendekati atau melebihi 80 pastinya akan menunjukkan indikator peningkatan yang signifikan dalam kualitas hidup, pendidikan, dan kesehatan bangsa secara keseluruhan.

Jadi, selain pemerintah harus terus melakukan peningkatan IPM rakyat Indonesia, pemerintah melalui Kementerian PPN/Bappenas juga harus menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang mencakup berbagai strategi dan indikator untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, yang bersifat:

1. Komprehensif, artinya peningkatan kualitas hidup mencakup berbagai aspek seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan kesejahteraan sosial.

2. Berkelanjutan, dimana fokus pada pembangunan berkelanjutan memastikan bahwa kemajuan yang dicapai dapat dipertahankan dalam jangka panjang.

3. Inklusif, yaitu peningkatan yang merata di seluruh wilayah dan kelompok Masyarakat, dan memastikan bahwa semua orang mendapatkan manfaat dari pembangunan.

Sedangkan indikator utama yang telah ditentukan oleh pemerintah dan harus diwujudkan dalam kurun waktu 20 tahun kedepan adalah sebagai berikut:

1. Pendapatan Per Kapita: Target pendapatan per kapita pada tahun 2045 adalah sekitar USD 23.000 hingga USD 30.300.

2. Penurunan Kemiskinan: Tingkat kemiskinan diharapkan turun menjadi 0,5-0,8%.

3. Kualitas Sumber Daya Manusia: Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia, salahsatunya adalah dengan meningkatkan rata-rata Intelligence Quotient (IQ) orang Indonesia, yang saat ini hanya ada di kisaran poin 78,49.

Intelligence Quotient (IQ) atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai indikator Indeks Kecerdasan. IQ adalah ukuran kemampuan kognitif seseorang yang sering digunakan untuk menilai kemampuan intelektual dan potensinya.

Memang, meskipun IQ bukan satu-satunya indikator keberhasilan, namun peningkatan IQ dapat menunjukkan peningkatan kapabilitas kognitif dan pendidikan masyarakat.

Jadi, di tengah kondisi pendidikan nasional yang masih ‘amburadul’, di tengah rendahnya nilai Indeks Pembangunan Manusia, di tengah kondisi perpolitikan yang serba labil, dan di tengah jatuhnya kondisi ekonomi bangsa dikarenakan salah manajemen rezim penguasa yang lalu, serta di tengah total hutang pemerintah Indonesia yang telah mencapai nominal Rp 8.319,22 triliun (per November 2024) dan bunga hutangnya untuk obligasi 10 tahun, yang mencapai 6,96% atau senilai hampir 500 triliun tersebut, mampukah bangsa ini untuk mewujudkan masa keemasannya yang hanya sekitar 20 tahun lagi?

Atau lebih banyak kecemasannya?

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 30 Januari 2025

*Dosen Sekolah Pacasarjana Prodi MMPI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI/ Sekretaris Majelis Riset dan Digitalisasi PB Al Washliyah.

 

 

Loading

redaksi