ARAHBANUA.COM
oleh OVAMIR ANJUM
diterjemahkan bebas oleh Reza Nasrullah Jurnalis Arah Banua
Bagian 3 : Teologi Politik dan Islam
Risiko tak terhindarkan dari penerjemahan beda bahasa: istilah ‘teologi politik’ tidak ada padananya dalam bahasa Arab ataupun bahasa bangsa-bangsa muslim. Peristilahan unik dalam tradisi Islam seperti khalifah, imamah, semuanya mengandung sekaligus makan politik dan agama. Demikian pula judul-judul seperti al-ahkaamul sulthooniyah atau siasah syar’iyah, semuanya tidak pernah memisahkan makna politik dan agama.
Jika kita mengimpor istilah ‘teologi politik Islam’ dipastikan ada risiko merendahkan pemahaman keislaman kita di bawah ilmu eropa. Maksudnya, ilmu eropa bersumber dari tradisi yahudi dan kristen yang terbiasa memisahkan istilah politik dan agama. Namun patut diingat juga bahwa Al-Qur’an banyak menceritakan perilaku yahudi dan kristen baik dari sisi agama maupun politik.
Intinya, kita menyadari istilah ‘teologi politik Islam’ bukan mengambil ilmu dari tradisi yahudi dan kristen, namun dalam konteks keislaman yang kaaffah.
Dengan demikian, pengalaman sejarah Islam sejak Nabi Muhammad SAW sampai sekarang dan nanti, akan selalu berputar di sekitar istilah politik dan agama. Dan keduanya tidak pernah dibedakan apalagi dipisah-pisahkan, sebagaimana politik dan agama bagi yahudi dan kristen.
Memang ada pengalaman terkadang agama dan politik dipandang terpisah seperti orang yang sholat di masjid dengan niat memperbaiki diri, bukan niat menunjukkan dia orang sholih yang layak dipilih untuk menjadi pemimpin. Jika niatnya menunjukkan kesholihan demi ambisi politik maka sholat dan politik menjadi satu. Tapi jika niatnya ikhlash semata mengharapkan ridho Allah SWT tanpa peduli pandangan manusia, maka sholatnya murni karena agama dan terpisah dari nuansa politik.
Pada sisi lain, seorang pemimpin atau tokoh masyarakat selalu membawa kesadaran iman-islam-ihsan(agama) dalam menjalankan fungsi sosial-politiknya. Artinya agama dan politik menyatu dalam dirinya dan sepakterjangnya.
Contoh lain dalam sejarah Islam adalah kebijakan khalifah Al-Ma’mun yang memerintah antara tahun 813 sampai 833 masehi. Beliau mewajibkan rakyat meyakini bahwa kitab suci Al-Qur’an adalah makhluk. Dan para ulama menentang keras hal ini sehingga mereka dieksekusi. Meyakini Al-Qur’an sebagai makhluk adalah masalah agama(teologis). Lalu berubah menjadi persoalan politik karena menimbulkan pertentangan antara yang mendukung khalifah melawan yang tidak setuju.
Jadi khalifah mempolitisasi urusan Al-Qur’an itu makhluk atau kalam Allah. Para ulama penentang beliau meyakini Al-Qur’an bukan makhluk melainkan kalam Allah.
Artinya ada kalanya sesuatu yang murni agama bisa dipolitisasi atau sebaliknya, sesuatu yang murni politik misalnya pertarungan kekuasaan dibelokkan menjadi agama misalnya dengan mengatakan lawan politik adalah kafir.
(bersambung)
KOMENTAR TERBARU