12 Desember 2024
HJ FAISAL PsyWar k

ARAHBANUA.COM

 

Oleh: H. J. Faisal

Preambule

Memang sangat menarik ketika kita merenungkan apa yang pernah dikatakan oleh Albert Einstein, bahwa perbedaan antara kejeniusan dan kebodohan adalah, bahwa kejeniusan itu sesungguhnya memiliki ‘batasan’ dan kebodohan itu sesungguhnya tidak memiliki ‘batasan’.

Apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan kutipan Einstein tersebut?

Jika kita merenungkan makna dari kutipan ini, kemungkinan besar Einstein ingin menunjukkan bahwa kebodohan atau ketidaktahuan bisa terjadi tanpa batas. Seseorang yang bodoh mungkin tidak menyadari batasan-batasan pengetahuan mereka, atau bahkan menolak untuk belajar dan berkembang. Di sisi lain, kejeniusan memiliki batas karena selalu didasarkan kepada pemahaman yang mendalam, pengetahuan yang luas, dan keinginan untuk terus belajar dan berkembang.

Dengan kata lain, seseorang yang memang cerdas atau jenius pastinya selalu menyadari bahwa ada batasan-batasan pada ilmu dan pengetahuan yang mereka miliki, sehingga mereka selalu terus berusaha untuk mengembangkannya dan memperluasnya, dengan cara terus belajar, mengenal dan memahami hal-hal yang baru, dan tidak lelah untuk terus ‘membongkar’ semua misteri yang ada di dalam ilmu pengetahuan itu sendiri.

Sedangkan, mereka yang sesungguhnya bodoh, adalah mereka yang sudah merasa puas dengan apa yang sudah mereka ketahui dan mereka kuasai saat ini, tanpa perlu mengembangkan ilmu pengetahuan mereka secara berkelanjutan, sehingga kebodohan yang ada di dalam diri mereka tersebut bisa terus-menerus berlanjut tanpa batas, karena tidak adanya kesadaran atau keinginan mereka untuk mengembangkan dan memperbaiki dirinya sendiri.

Apalagi di era disrupsi teknologi informasi saat ini, dimana manusia memang dapat dengan mudah mengakses berbagai jenis informasi, baik yang akurat maupun yang menyesatkan, dimana fenomena Intersubjektivitas dan Post Truth selalu mengacu kepada kenyataan bahwa banyak informasi yang kita terima dan kita bagikan di media sosial yang sesungguhnya hanya berdasarkan kepada persepsi dan pengalaman pribadi semata, yang kemudian informasi tersebut ‘naik derajat’ menjadi sebuah ‘kebenaran’ baru, padahal dasar informasinya tidak ilmiah dan tidak sepenuhnya obyektif.

Dengan demikian maka intersubjektifitas dan post truth, yang akan terus menjadi ‘refrensi’ bagi mereka yang merasa jenius atau cerdas, namun sesungguhnya mereka justru telah terperangkap dalam kebodohannya sendiri.

Sesungguhnya ini adalah refleksi yang sangat menarik, jika kita kaitkan antara sifat manusia dan pendekatannya terhadap proses pembelajaran dan penguasaan ilmu pengetahuan.

Konsep Efek Dunning-Kruger

Sebuah pertanyaan yang menarik adalah, apakah mereka yang sebenarnya bodoh akan merasa dirinya bodoh? Karena sesungguhnya semakin dalam kebodohan yang ada di dalam diri mereka, maka sebenarnya justru mereka akan semakin merasa pintar.

Pertanyaan saya tersebut sebenarnya sudah terjawab dalam konsep ‘Efek Dunning-Kruger’, yang mana konsep ini dinamai dari psikolog David Dunning dan Justin Kruger.

Konsep ‘Efek Dunning-Kruger’ ini berasal dari penelitian David Dunning dan Justin Kruger yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1999 dalam artikel berjudul “Unskilled and Unaware of It: How Difficulties in Recognizing One’s Own Incompetence Leading to Inflated Self-Assessments” di jurnal Journal of Personality and Social Psychology.

David Dunning dan Justin Kruger sendiri adalah psikolog dari Universitas Cornell yang pertama kali menguji konsep Efek Dunning-Kruger pada tahun 1999. David Dunning sekarang adalah seorang Profesor Psikologi di Universitas Michigan, sementara Justin Kruger adalah peneliti senior di Stern School of Business, Universitas New York.

Jadi, apakah yang dimaksud dengan Efek Dunning-Kruger tersebut? Efek Dunning-Kruger adalah bias kognitif di mana individu dengan kompetensi rendah, justru cenderung untuk selalu melebih-lebihkan kemampuannya. Sebaliknya, individu yang justru sangat kompeten, malah sering merasa bahwa mereka harus terus mengembangkan kemampuan skill dan pemikiran mereka.

Adapun arti bias kognitif itu sendiri adalah kesalahan dalam cara berpikir atau penalaran yang terjadi, ketika otak kita memproses dan menafsirkan informasi secara tidak tepat. Bias ini bisa mempengaruhi keputusan dan penilaian kita secara negatif.

Bias kognitif sering kali muncul karena otak kita mencoba memproses informasi secara cepat dan efisien, menggunakan jalan pintas mental yang dikenal sebagai heuristik. Meskipun heuristik dapat membantu kita membuat keputusan cepat, mereka juga bisa menyebabkan kesalahan. Hal ini disebabkan karena kurangnya refrensi, pengalaman, dan praktik, tetapi memiliki perasaan sudah mengetahui segalanya hanya berdasarkan asumsi dan emosi belaka.

Sedangkan menurut psikolog dan ilmuwan kognitif Amos Tversky dan Daniel Kahneman yang telah melakukan banyak penelitian pada tahun 1970-an yang menjadi dasar dari bidang psikologi kognitif dan teori prospek (prospect theory), arti heuristik adalah strategi atau metode praktis yang digunakan oleh otak kita untuk membuat keputusan dan memecahkan masalah dengan cepat dan efisien.

Heuristik berfungsi sebagai “jalan pintas” mental yang membantu kita menghemat waktu dan usaha, tetapi bisa juga mengarah pada bias dan kesalahan, seperti bias konfirmasi, bias ketersediaan, dan bias representatif mempengaruhi penilaian dan pemahaman.

Dengan demikian, dalam penelitian konsep Efek Dunning-Kruger tersebut, Dunning dan Kruger telah membuktikan bahwa orang yang kurang kompeten (baca;bodoh) sering kali tidak menyadari ketidakmampuan mereka, dan bahkan cenderung merasa bahwa mereka lebih pintar atau lebih kompeten daripada yang sebenarnya.

Konsep ini menggambarkan bagaimana kebodohan atau ketidaktahuan bisa membawa rasa percaya diri yang salah. Orang yang tidak tahu mungkin merasa mereka tahu, karena mereka tidak menyadari batasan pengetahuan mereka.

Sebaliknya, mereka yang justru sangat kompeten dalam ilmu pengetahuan, akan selalu merasa bahwa ilmu pengetahuan yang mereka miliki selalu ‘terbatas’ dan selalu ‘kurang’, sehingga mereka terus mencari refrensi ilmu pengetahuan yang kredibel untuk terus ‘merobohkan batasan-batasan’ tersebut.

Efek Dunning-Kruger menunjukkan pentingnya kesadaran diri dan kerendahan hati dalam penilaian kemampuan pribadi. Memahami bahwa kita mungkin tidak tahu segalanya dan selalu ada ruang dan waktu bagi kita untuk selalu belajar secara terus menerus, agar kita bisa menghindari jebakan-jebakan kebodohan ini.

Maka dari itu, sesungguhnya benarlah apa yang dikatakan oleh Allah Ta’alla dalam firman-Nya di dalam Al Qur’an, surah Az-Zumar (39): 9, yang artinya: “Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakal lah yang dapat menerima pelajaran.”

Begitupun dengan apa yang diucapkan oleh Rasulullah Salallahu alaihi wassalam dalam sebuah haditsnya, yaitu: “Janganlah kamu berbicara dengan seorang yang tidak kamu tahu, karena kamu mungkin akan diperhitungkan dengan apa yang kamu dengar.” (HR. Tirmidzi).

Jadi, ada dimanakah posisi diri kita yang sebenarnya saat ini?

Apakah kita berada dalam posisi yang memiliki batasan, ataukah kita berada dalam posisi yang tidak memiliki batasan?

Apakah kita juga setuju, bahwa mungkin saja dengan kata lain, Einstein bermaksud mengatakan bahwa ‘KEBODOHAN SESUNGGUHNYA ADALAH KETIDAKTAHUAN KARENA KEMALASAN YANG DISENGAJA?’

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 13 November 2024

*Dosen Sekolah Pacasarjana Prodi MMPI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI

Loading

redaksi